Penulis : RK
Jika kita tilik sejarah, Ramadhan baru diwajibkan di bulan syaban 2 Hijriah. Rasulullah sendiri berpuasa di bulan Ramadhan hanya 9 kali. Beliau wafat di bulan Rabiul awal. Akan tetapi dengan rentang waktu yang tidak terlalu lama tersebut, terjadi pergerakan dan perkembangan dakwah yang luar biasa pesat. Grafik tersebut mengalami kenaikan dari Ramadhan ke Ramadhan selanjutnya.
Pada Ramadhan pertama, terjadilah perang Badar yang merupakan perang besar antara muslim dengan kafir Quraisy pada tanggal 17 Ramadhan. Pada awalnya, muslimin dalam kondisi tidak siap berperang karena perang bukanlah tujuan awalnya mereka. Pada perang inilah Rasululullah SWT bermunajat memohon kepada Allah SWT dengan sangat penuh harap hingga Abu Bakar menegurnya.
Tahun ke-5 H, kaum Quraish tidak berani berhadapan dengan kaum muslimin tanpa koalisi dengan siapaun. Setahun berikutnya, kaum Quarish meminta perjanjian untuk tidak berperang. Selanjutnya, di tahun ke-7 H, Rasulullaah SAW menaklukkan Yahudi pada perang Khaibar.
Pada 10 hari terahir di bulan Ramadhan yang ke-8, kaum muslimin meraih kemenangan terbesar, yaitu Fathul Mekkah. Rasulullaah SAW membersihkan Ka’bah dari seluruh symbol kemusyrikan. Penduduk Mekkah pun tunduk pada kemenangan Islam.
Mengapa Ramadhan Kita Belum Maksimal?
Di usia kita sekarang, Ramadhan yang sudah kita lalui sudah lebih banyak dari nabi dan sebagian shahabat. Kenapa hasilnya belum maksimal?
Jika kita hitung, sejak rasul menerima wahyu, berpuasa baru diwajibkan pada tahun ke 15. Penyiapan keimanan selama 15 tahun, baru kemudian turun perintah syariah.
Hal pertama yang perlu kita renungkan adalah, apakah kita sudah memiliki keimanan dan pemahaman yang mendalam tentang Ramadhan. Jika belum, maka pondasi kita kurang. Perintah akan kita persepsikan sebagai beban. Jauh dari menikmati. Akibatnya, Ramadhan terus berlalu dari tahun ke tahun, tapi perubahan di masyarakat belum begitu terlihat.
Hal lain yang patut dipikirkan adalah cara pandang kita terhadap bulan selain Ramadhan. Dalam firman-Nya pada Qur’an Surat Al Baqarah ayat 183 bahwa Allah mewajibkan kita berpuasa (Ramadhan) agar kita menjadi orang yang bertaqwa (setelah selesai dari Ramadhan), bukan “hanya” di bulan Ramadhan.
Justru keberhasilan Ramadhan itu dilihat aplikasinya dari sebelas bulan ke depan apakah kita akan tetap istiqamah untuk menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Seharusnya taqwa itu dilakukan setiap saat, kapan pun dan dimana pun.
Ramadhan dan Peningkatan Ketakwaan Sosial
Dalam konteks realitas individu dan masyarakat, terdapat pembelajaran yang bisa diambil dari bulan Ramadhan. Dalam Qur’an Surat Al Baqarah ayat 183, Allah menginginkan hamba-Nya secara individu agar meraih kemenangan Ramadhan dengan gelar taqwa.
Apakah taqwa yang kita dapatkan hanya untuk diri kita sendiri? Lalu dimana kebermanfaatan kita untuk umat? Taqwa di sini juga harus taqwa dalam lingkup sosial dimana kesalehan pribadi kita harus bisa kita wujudkan dalam amal kolektif kita sehingga menjadi shalih sosial. Hal ini diperintahkan dalam firman Allah yang merupakan kelanjutan dari Qur’an Surat Al Baqarah ayat 183.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa. (QS. Al Baqarah: 187)
Dalam ayat di atas bagian terakhir jelas bahwa Allah menginginkan “supaya mereka bertaqwa”. Kata “mereka” di sini berarti tidak satu individu manusia, tapi banyak, yaitu bagaimana masyarakat mewujudkan ketakwaan pribadi-pribadi mereka dalam bentuk amal kolektif.
Dari penjelasan di atas, jelas solusinya bahwa kita harus mewujudkan ketaqwaan itu dimulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara, hingga sistem islami bisa kita terapkan di muka bumi ini.
Mewujudkan ketaqwaan itu bisa dilakukan dengan proses bertahap tentunya, tidak bisa instan. Untuk itu, di bulan Ramadhan ini adalah moment yang tepat untuk kita jadikan titik tolak pembinaan (tarbiyah) dan pembiasaan individu dan masyarakat.
Individu itu di gembleng selama Ramadhan dengan harus menaati semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya hingga terbentuk pemahaman dan keimanan yang mendalam, untuk kemudian menjadi hamba Allah yang bertaqwa. Dari situ kita ambil pelajaran bahwa ada hubungan vertical yang special antara hamba dan Tuhan-Nya di bulan Ramadhan.
Selain hubungan vertikal, Allah juga memerintahkan kita untuk baik dalam hubungan horizontal nya yaitu dengan sesama manusia. Habluminallah dan habluminannas semuanya harus bagus. sebelas bulan kedepan nya kita bisa tetap istiqamah dengan pembinaan seperti di bulan Ramadhan. Sampai Ramadhan berikutnya dengan pemahaman, kita jadikan sebagai bulan peningkatan dan pembelajaran (peningkatan nilai iman dan ruhiyah).
Dari individu yang bertaqwa itu bisa menjadi pembenahan keteladanan untuk lingkup sosial. Bertolak dari situ, bersama-sama dalam amal kolektif menjadi orang-orang (masyarakat/negara) yang bertaqwa. Mari kita jadikan Ramadhan ini sebagai momentum bagi PKS, Peningkatan Ketaqwaan Sosial.
Wallahu`alam