Sepenggal kisah saat menemani istri Menkominfo di Tokyo

Berita

Oleh: Femina Sagita Borualogo

Kamis, 12 September 2013, jam 10 pagi saya bergegas menuju Hotel Ookura Tokyo. Hari ini saya akan menemani Ibu Sri Rahayu yang saat ini datang ke Tokyo dengan kapasitas sebagai istri Menkominfo, Ir. Tifatul Sembiring. Sebelumnya, sempat terbayang di benak, saya akan menghubungi resepsionis, lalu menunggu Ibu Menteri turun dari kamarnya. Ternyata di luar perkiraan, Ibu Yayu, panggilan akrab beliau, sudah duduk di lobi tersenyum ramah. Malahan saya yang ditunggu oleh Ibu Menteri, jadi terbalik nih…

Tidak lama kemudian datang Yoshida san, perwakilan Jepang untuk kantor ASEAN di Jakarta, karena saat itu Pak Menkominfo sedang menghadiri pertemuan tingkat Menteri ASEAN dan Jepang di hotel yang sama membahas `cyber security.`

Kemudian datang Ibu Eva, sekretaris tiga Dubes RI untuk Jepang, menemui Ibu Yayu. Setelah briefing rencana perjalanan hari itu, Ibu Yayu, Ibu Eva dan saya meluncur dengan mobil dinas KBRI. Saya pilih duduk di belakang supir, dengan pikiran, lebih praktis bagi Ibu Yayu bila duduk di sebelah kiri, lebih dekat ke lobi bangunan saat naik turun mobil. Ternyata pilihan duduk saya kurang tepat, karena justru Pak Supir KBRI, seorang laki-laki Jepang berusia sekitar 50 tahunan, malah membukakan pintu untuk saya. “Wah, tempat duduk kita terbalik nih Bu,” ucap saya ketika sudah duduk di mobil. “Ah, gak papa Mbak Gita,” jawab Bu Yayu santai saja.

Tujuan pertama kami hari ini adalah showroom NEC, yang terletak di Gedung Shinagawa East One Tower. Kami disambut oleh dua pegawai NEC, yang salah satunya adalah orang Indonesia, Mas Aulia. Senang sekali mengetahui ada orang Indonesia yang berkarir di perusahaan IT bergengsi di Jepang. Lalu kami diperkenalkan dengan jajaran GM dan Manager, salah satunya adalah Takeshi Tsukamoto, yang memperkenalkan diri dengan bahasa Indonesia dengan baik. Takeshi Tsukamoto adalah salah satu GM NEC yang baru sebulan yang lalu kembali dari Indonesia setelah lima tahun bertugas di Jakarta. Dan sambil bercanda ia berkata, “sekarang saya sedang adaptasi lagi dengan kehidupan Jepang”.

Di Showroom, kami diajak berkeliling dan mendengarkan presentasi produk-produk IT milik NEC, baik itu berupa sistem IT maupun produk barang. Dari berbagai sistem IT yang dijelaskan, yang menjadi perhatian dari Ibu Yayu adalah, sistem pendidikan e-learning, yaitu sistem belajar mengajar yang menghubungkan guru, murid, dan orang tua, dengan menggunakan media internet. Salah satu sekolah yang telah menggunakan sistem ini adalah Victorian Department of Education and Early Childhood Development, Asutralia.

“Kami di Depok, dan juga wilayah di sekeliling Jakarta lainnya, menghadapi masalah berupa tidak seimbangnya antara fasilitas sarana dan prasarana pendidikan untuk sekolah menengah, dibandingkan dengan murid yang membutuhkannya. Untuk itu, kebutuhan akan sistem pendidikan e-learning ini adalah hal yang mendesak untuk dipikirkan di wilayah Bodetabek,” Bu Yayu memulai paparannya mengenai urgensi penerapan sistem e-learning ini. Kali ini beliau bukan menjalankan tugas sebagai istri Menkominfo, namun lebih sebagai anggota DPRD Depok yang memang menangani masalah pendidikan dan anak.

Ibu Yayu dan NEC
(ki-ka): Aulia Raubien, Takeshi Tsukamoto (GM NEC), Ibu Sri Rahayu, Ibu Eva Triana Sari (KBRI), Femina Sagita B, Masamitsu Kitase (Manager), Toshio Suzuki (Manager)

Ibu Yayu mengatakan bahwa kondisi  di Depok dan sekitarnya, tidak seimbang antara jumlah guru dan gedung untuk memenuhi kebutuhan pendidikan tingkat SMP dan SMA. Ibu Yayu berpikir tentang fasilitas e-learning yang membuat siswa tetap bisa belajar dan terdaftar secara resmi, walau tidak hadir duduk di kelas. Jadi seperti UT untuk tingkat Universitas. Nantinya, ini bisa dikembangkan juga untuk wilayah-wilayah yang terisolir. E-learning yang melibatkan orang tua seperti yang sudah NEC kembangkan ini, bagus juga untuk dikembangkan di Indonesia.

Paparan Bu Yayu dan diskusi dengan NEC sepertinya menghasilkan kesepahaman tentang pentingnya memperkenalkan sistem e-learning ini di Kemendiknas Indonesia. Semoga langkah awal ini akan terus bergulir dengan mulus hingga menghasilkan program riil untuk masyarakat.

Tidak sampai satu jam kami di NEC, perjalanan harus segera dilanjutkan menuju SD Honda, yang jarak tempuh dengan mobil bisa memakan waktu satu jam. Sepanjang perjalanan, Ibu Yayu banyak memperhatikan bagaimana cara hidup masyarakat Jepang. Kenapa kali dan sungai di Tokyo bersih? Apa saja jenis perumahan di Jepang? Bagaimana anak sekolah pulang dan pergi sekolah? Seolah-olah Ibu sedang membayangkan Depok suatu saat bisa seperti Tokyo. Aamiin.

Karena padatnya acara Ibu Yayu, makan siang kami nikmati sepanjang perjalanan menuju SD Honda. Setiba di SD Honda, kami langsung disambut di halaman parkir oleh Bapak Wakepsek dan seorang perempuan Jepang yang perwakilan NTT. SD Honda menggunakan sistem belajar mengajar yang diproduksi oleh NTT. Sistem ini berbeda dengan yang diproduksi oleh NEC, kali ini adalah mempemudah proses belajar mengajar di dalam kelas. “Tiga tahun yang lalu, Monkasho (Diknas Jepang) menetapkan 10 sekolah di seluruh Jepang sebagai sekolah percobaan dari sistem belajar mengajar menggunakan satu laptop per siswa, yang tersambung wireless dengan interactive board (berupa layar besar) di depan kelas. SD Honda bersedia sebagai sekolah percontohan yang mewakili Tokyo untuk seluruh Jepang. Memang, tidak semua sekolah bersedia menjadi sekolah percontohan, karena membutuhkan masa adaptasi bagi siswa, juga kesiapan para guru dalam mengoperasikannya. SD Honda memiliki 350 siswa, sehingga tersedia juga 350 unit laptop bermerek Toshiba. Laptop ini berlayar ukuran sekitar A5, dengan sekelilingnya diberi karet, sehingga tidak mudah rusak walaupun terbentur atau jatuh.

Sepertinya siswa SD Honda tidak mengalami kesulitan yang berarti. Saat kami diajak berkeliling ke kelas-kelas, kami bisa melihat proses belajar mengajar yang menggunakan laptop ini. Tidak semua mata pelajaran menggunakan sarana IT ini. Laptop barulah digunakan bila proses belajar mengajar dianggap semakin efisien. Misalnya, kelas 1 pada mata pelajaran “keterampilan hidup”, siswa sedang berlatih presentasi. Kelas terbagi menjadi beberapa kelompok, satu kelompok terdiri atas empat siswa, dengan posisi duduk saling berhadapan. Semua menggunakan laptop wireless sehingga mudah membentuk berbagai formasi tempat duduk, bahkan layar juga bisa digeser dan diubah posisinya sesuka hati.

Pada pelajaran ini mereka mempresentasikan hasil karya salah seorang siswa, yang dibuat ketika masa liburan musim panas. Hasil karya berupa foto dan penjelasan yang dituliskan di bawah foto tersebut. Hasil karya ini kemudian di sekolah difoto dengan menggunakan kamera yang build in di laptop, sehingga data hasil karya siswa sekelas itu dapat diakses oleh semua siswa di kelas.
Saat kami masuk ke kelas, para siswa terlihat sedang melihat layar laptop masing-masing, memperhatikan tampilan hasil karya teman mereka yang akan dipresentasikan. Satu kelompok mempresentasikan satu hasil karya yang sama. Antara kelompok satu dengan kelompok lainnya berbeda hasil karya yang dipresentasikan. Guru menggunakan layar lebar, dan semua layar, baik itu di laptop maupun di layar lebar di depan kelas, adalah juga touch screen. Di papan tulis, guru menuliskan kalimat apa yang perlu diucapkan siswa ketika presentasi, dan pertanyaan apa yang perlu disampaikan teman yang mendengarkan presentasi. Lalu, setiap siswa berlatih presentasi secara bergantian di dalam kelompok. Ketika satu anak presentasi, tiga temannya mendengarkan dengan cermat. Latihan presentasi di dalam kelompok jumlah kecil seperti ini adalah latihan sebelum mereka presentasi di depan kelas. Melihat cara belajar seperti ini, dapatlah dipahami bagaimana siswa Jepang mempelajari keteraturan hidup, ketertiban, dan kerunutan berpikir.

Di Kelas 5, kami melihat siswa sedang merancang cover book dari cerita yang mereka buat. Ini adalah pelajaran bahasa, tapi mereka juga belajar design. Guru memberikan sedikit hint, kira-kira design seperti apa yang sesuai dengan judul cerita. Namun, siswa diberi kebebasan berkreasi. Mereka menggunakan software Power Point for Kids, khusus diproduksi untuk Jepang. Siswa memilih berbagai template menarik yang tersedia sambil memperkaya dengan warna-warna yang mereka suka.

Dari kunjungan ke kelas-kelas ini dapat saya rasakan bagaimana Jepang menyiapkan generasi muda menjadi generasi yang akrab dengan teknologi informatika, sehingga mereka dengan trampil dapat menggunakan dalam pengerjaan tugas-tugas sekolah.

Ibu Sri Rahayu (dua dari kanan) bersama Bapak Kepala SD Honda, Tokyo
Ibu Sri Rahayu (dua dari kanan) bersama Bapak Kepala SD Honda, Tokyo

Kunjungan kedua berakhir pada pukul 14.30. Saat kembali ke mobil dan membuka HP yang ditinggal di mobil, barulah Ibu Yayu mengetahui ada pesan dari Pak Tifatul. Kami bergegas untuk kembali ke Hotel Ookura. Di tengah perjalanan, kami mampir sebentar di toko kombini (waserba) untuk membeli beberapa makanan ringan pesanan Pak Tifatul. Belanjaan Ibu tidak sampai 3.000 yen, dan Ibu Yayu sudah mau membayarnya, ketika Ibu Eva menjelaskan bahwa biaya ini sudah disediakan oleh KBRI, sehingga Ibu Eva yang membayarkannya.

Setiba di Hotel sekitar pukul 4 sore, kami berpamitan. Kesan yang sangat dalam saya dapat rasakan dari Ibu Yayu adalah kecerdasan Ibu memanfaatkan waktu yang ada untuk dioptimalkan bagi kemajuan bangsa Indonesia, yaitu beliau isi waktu dengan mencari informasi dan menjalin hubungan komunikasi dengan pihak Jepang sehubungan dengan tugas beliau di DPRD Depok; kesehajaan dalam bersikap sehingga tidak mau dispesialkan sebagai istri pejabat; dan kesederhanaan dalam pengeluaran uang negara sehingga pemilihan makanan pun yang sederhana saja.
Hari itu sudah cukup melelahkan, tapi saya tahu, sekembalinya ke kamar, Ibu Yayu masih mengerjakan tugas-tugas penting lainnya, sebagai istri Menteri, dan juga sebagai daiyah yang malam itu akan mengisi pengajian online yang disiarkan di Radio Fahima.

Sekian sepenggal kisah saya saat menemani Ibu Sri Rahayu, sosok ramah, cerdas, sahaja, dan sederhana itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published.