Catatan Suatu Malam di Bulan Ramadhan 1438H

Ramadhan

Astaghfirullah…itu mungkin kalimat yang mesti kuucapkan.

Malam itu, pulang kerja, rasanya kepala agak pusing ditambah badan terasa lelah sekali. Puasa tahun ini, waktu berbuka puasa pukul 7 malam, sedangkan pukul 3 pagi sudah mulai waktu subuh. Enam belas jam puasa memang cukup menguras kalori, apalagi kalau “kebablasan” tidak sempat makan sahur. Tapi dibanding tahun-tahun sebelumnya, memang udara agak sejuk, udara tidak terlalu panas, karena di Jepang baru saja selesai musim semi. Belum berselang lima menit menaiki sepeda hendak menuju stasiun naik kereta ke mesjid untuk melakukan shalat tarawih, gara-gara pening tadi sempat berpikir bagaimana kalau malam ini istirahat dulu. Tapi seperti tiba-tiba diperlihatkan seorang kakek-kakek dengan selang pernafasan yang sedang dipapah seorang nenek. Malulah diri ini dengan semangat sang kakek untuk berolahraga jalan kaki di malam hari sekalipun dengan keterbatasan kesehatannya. Masya Allah, mestinya aku bersyukur masih diberi kesehatan dan kekuatan sehingga masih bisa berjalan sempurna. Masihkah mau berdalih pusing sedikit untuk mengurungkan langkah ke mesjid. Betapa banyak orang yang sedang berbaring sakit ingin bisa berjalan dan melakukan shalat Tarawih di masjid. Siapa yang bisa menjamin kesehatan kita besok atau tahun depan, padahal boleh jadi besok atau tahun depan bukan cuma pening tapi, sudah tidak mampu pergi ke mesjid lagi di saat bulan Ramadhan. Siapa yang bisa menjamin umur kita, padahal barangkali kesempatan kali ini adalah Ramadhan terakhir yang kita alami. Astaghfirullahal’adzhim, kadang-kadang kita memang perlu dikuatkan untuk melakukan ibadah. Padahal bisa jadi jutaan orang yang sudah meninggal di dalam tanah ingin dihidupkan kembali walau sebentar saja agar diberikan kesempatan beramal (Q.S 32:12). Sampai-sampai ada yang minta PK (Peninjauan Kembali) agar keputusan atas kematiannya, hanya supaya bisa bersedekah. “Lalu ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” (QS, 63:10). Ya Allah,.sepantasnya hamba ini berdoa,”Allahumma a’inni ‘ala dzikira, wa syukrika, wa husni ‘ibadatika” (Ya Allah, tolonglah aku agar selalu berdzikir/mengingat-Mu, bersyukur pada-Mu, dan beribadah pada-Mu dengan baik)

 

Mesjid tempat tarawih Ramadhan kali ini merupakan salah satu dari mesjid yang paling tua di Jepang. Tapi karena posisinya berada dekat dengan pusat keramaian kota, sehingga setiap orang yang datang dari luar kota pasti harus melewati daerah remang-remang saat baru keluar dari stasiun kereta. Apalagi ketika pulang selepas sholat tarawih yang melebihi pukul 10 malam, akan terasa seolah-olah melewati suasana jahiliyah yang sangat kontras dengan suasana di masjid. Maka cara satu-satunya agar tidak “ditawari” kemaksiatan dari kanan kiri ialah berjalan cepat (bisa sekaligus sambil olahraga dan mengejar kereta).

 

Berjalan sambil mengulang-ulang ayat Quran yang hendak dihafal juga sangat ampuh untuk berlindung dari suasana seperti ini. Mungkin ini hikmah ketika seseorang tidak bisa cepat hafal suatu ayat, yaitu agar dia berusaha dan sibuk mengulang-ngulangnya. Sampailah pada ayat yang sedang dihapal: “Zuyyinallinnas hubbus syahwaat …qul a-unabbi-ukum bi khairimmindzaalikum, lilladzinattaqaw ‘inda rabbihim jannaah…” (Q.S Ali Imran 3:14-15). Ah, memang pikiran manusia selalu dihiasi sehingga mencintai syahwat (hubbus-syahwat) yang merupakan kesenangan dunia belaka (wanita, anak, harta berlimpah emas perak, kuda pilihan, binatang ternak, tanah ladang). Namun, dalam ayat berikutnya (3:15), Allah SWT langsung mengingatkan bahwa ada loh yang lebih baik daripada itu, yakni surga jannah kelak yang disediakan bagi orang bertaqwa. Kamu jangan sampai melupakan masalah ketaqwaan ini, begitu kira-kira peringatan Allah.

 

Yang namanya perhiasan, sebenarnya boleh-boleh saja dimiliki tapi jangan sampai lebih diutamakan daripada yang pokok. Ibarat rumah, janganlah terlalu sibuk menyiapkan perhiasaannya segala macam dari souvenir dan lukisan dinding dsb., padahal gedung rumahnya sendiri belum ada, atau fondasinya yang rapuh tidak pernah diperbaiki. Sebaliknya kalau tidak berhati-hati, perhiasan-perhiasan dunia di atas bisa menjerumuskan kita kepada kemaksiatan. Contohnya, kasus kriminal paling tua dalam sejarah manusia adalah peristiwa pembunuhan Habil oleh Qabil yang bermula dari masalah syahwat wanita. Ada pula peristiwa sahabat Umar bin Khattab yang merasa kebun kurmanya (syahwat kebun/al harts) menyebabkan ketinggalan shalat ashar berjamaah (padahal ketinggalan berjamaahnya, bukan shalat asharnya !), sehingga akhirnya beliau sedekahkan untuk faqir miskin. Maka, seseorang pun bisa keasyikan dengan kendaraan barunya (dalam ayat 3;14 di atas: kuda pilihan) sehingga menjadikan dia lupa waktu shalat, atau bahkan menyombongkan dirinya dengan “status” barunya sebagai pemilik mobil baru. Atau, jangan-jangan handphone canggih yang kita miliki juga menjadi penyebab kita lebih banyak membaca koran daripada Qur’an. Na’uzdubillahi mindzalik.

 

Dalam ayat-ayat yang lain pun sering kita diingatkan tentang hal ketaqwaan ini, Contohnya “Ittaqullah haqqa tuqaatihi” (Bertaqwalah dengan sebenar-benarnya taqwa) atau “Inna akramakum ‘inda Allah atqaakum” (Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang bertaqwa). Tujuan puasa Ramadhan inipun adalah sarana Allah mendidik orang-orang beriman agar menjadi orang yang bertaqwa. (QS. 2:183). Namun pantaskah kita masuk ke dalam kriteria taqwa kalau masih bermalas-malasan untuk melakukan ibadah? Padahal dalam Al Quran sudah diindentifikasikan bahwa salah satu ciri orang munafik ialah bermalas-malasan dalam ibadah, “Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas” (QS. 4:142).

 

Jadi, ketika taqwa ini sudah melekat dalam jiwa, ia tidak akan bermalas-malasan dalam ibadah. Dia akan siap meninggalkan “comfort zone” jauh-jauh. Tidak ada di dalam kamusnya istilah “muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga”, karena aslinya surga itu dikelilingi hal yang dibenci oleh nafsu (“huffatil jannatu bil makaarih, wa huffatin naarru bissyahwaat”). Bahkan kelaparan, kesengsaraan, guncangan jiwa pun harus dilalui oleh orang-orang beriman untuk mendapatkan tiket masuk surga (3:14). Rasulullah bersedia menolak mentah-mentah tawaran bargaining dari orang-orang Quraisy yang disampaikan pamannya Abu Thalib untuk meninggalkan dakwah dengan kekuasaan kerajaan dan kesenangan dunia. Bahkan Rasulullah rela meninggalkan kesenangan dunia untuk berjihad, dan dalam hal beribadah shalat malam sekalipun, diriwayatkan kakinya sampai bengkak-bengkak untuk bangun salat malam, padahal sudah dijamin masuk surga, sementara kita..?

 

Ada kejadian langka saat pulang tarawih tengah malam pukul 11:30. Sepeda yang saya naiki tiba-tiba distop polisi, padahal lampu sepeda sudah dinyalakan. Dulu pernah punya pengalaman juga dicegat polisi gara-gara lampu sepeda tidak dinyalakan di malam hari, tapi kali ini lampu menyala. Ternyata memang sedang ada pemeriksaan kepemilikan sepeda. Setelah polisi menanyakan nama dan memeriksa nomor “bohan-toroku” (registrasi pencegahan pencurian) yang tertempel di sepeda, lalu menghubungi kantor pusat untuk mencocokkan nama pemilik dengan database di komputer. Alhamdulilllah, tidak ada masalah karena ketika beli dulu sepeda ini langsung sudah didaftarkan penjualnya. Tapi, kalau kita mendapat sepeda warisan dari teman misalnya sebaiknya dilaporkan ke polisi.

 

Hikmah dari peristiwa ini, ialah seolah diri ini disuruh merenung bagaimana nanti kalau umur kita yang tiba-tiba “distop” dan kemudian diajukan pertanyaan kubur oleh malaikat Munkar dan Nakir, atau ditanya ketika dihisab nanti tentang amalan kita. Sama dengan ketika diperiksa polisi, jika memang tidak menyalahi aturan hukum yang ada, maka kita akan bisa menjawab lancar pertanyaan yang diajukan dengan tenang. Namun sebaliknya kalau bersalah, pasti akan gelisah dan gugup saat menghadapi pertanyaan. seperti jawaban orang kafir terhadap pertanyaan kubur yang digambarkan oleh Rasulullah SAW:

“Kemudian ruhnya dikembalikan di dalam jasadnya. Dan dua malaikat mendatanginya dan mendudukannya. Kedua malaikat itu bertanya, “Man Robbuka (Siapakah Rabbmu?)”. Dia menjawab: “Hah, hah ? aku tidak tahu”.

Kedua malaikat itu bertanya, “Maa Diinuka (Apakah agamamu ?)”. Dia menjawab, “Hah, hah? aku tidak tahu”.

Kedua malaikat itu bertanya, “Siapakah laki-laki yang telah diutus kepada kamu ini?”. Dia menjawab: “Hah, hah? aku tidak tahu”.

Lalu penyeru dari langit berseru, “HambaKu ini telah dusta, berilah dia hamparan dari neraka, dan bukakanlah sebuah pintu untuknya ke neraka.” Maka panas neraka dan asapnya datang mendatanginya. Dan kuburnya disempitkan, sehingga tulang-tulang rusuknya berhimpitan.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan dibahas di buku “Hakekat Ruh” oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyyah ).

 

Pertanyaan lain yang harus dijawab di akhirat nanti ialah tentang nikmat yang telah dianugerahkan kepada kita (“tsumma latus-alunna yaumaidzin ‘anin na’iim”). Atau seperti tergambar di dalam hadits dituliskan, “Tidak akan melangkah kedua kaki seorang hamba pada hari Kiamat sampai ia ditanya empat (perkara): tentang umurnya,..dst“.Masalahnya, mampukah kita menjawab pertanyaan pertanggungjawaban itu, kalau kita tidak pernah mensyukuri nikmat tersebut dengan cara melaksanakan tugas (“illa liya’buduun”) yang diamanahkan oleh Sang Pemberi nikmat?

 

Rasanya betapa masih lemahnya diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas nanti di akhirat. Sudah siapkah kalau mendadak umur kita di-stop? Jangan-jangan jiwa yang masih lalai dan malas beribadah ini sangat tidak pantas untuk mendapat tiket surga. Mungkin syair Pengakuan (I’tiraf) yang pernah diungkapkan oleh Abu Nawas di bawah ini sangat mengena untuk menggambarkan kondisi jiwa ini. Mari kita manfaatkan malam-malam terakhir bulan Ramadhan ini untuk memohon ampunanNya. Astaghfirullah wa atuubu ilaihi…

“Ilaahi lastu lil firdausi ahlaan,
(Ya Tuhanku, aku tidaklah pantas menjadi ahli syurga firdaus-Mu)
Walaa aqwaa ‘alannaaril jahiimii
(Namun aku juga tak kan sanggup masuk ke neraka jahim-Mu)
Fa-habli taubatan waghfir dzunuubi
(Oleh karena itu, terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku)
Fa-innaka ghaafirudzdzambil ‘adzhiimii
(Sesungguhnya Engkau Maha Mengampuni dosa-dosa besar)
Dzunuubi mitslu a’daadir rimali
(Dosa-dosa ku seperti hamparan pasir di laut,)
Fa-hablii taubatan yaa dzal jalaali
(maka terimalah taubatku wahai Dzat yang Maha Agung)
Wa ‘umrii naaqishun fii kulliyaumi
(Umurku terus berkurang setiap hari,)
Wa dzambii zaa idun kaifahtimali
(namun dosa-dosaku bertambah, bagaimana aku mampu menanggungnya? )
Ilaahi ‘abdukal ‘aashi ataaka
(Ya Tuhanku, hamba-Mu datang kepada-Mu)
Muqirran bi dzunubi waqad da’aaka
(dengan berlumur dosa ini sesungguhnya hamba memohon kepada-Mu)
Fa in taghfir faanta lidzaka ahlun
(Dan bila Engkau tidak mengampuni aku, maka itu adalah kewenangan-Mu)
Wa in tadrud faman narjuu siwaakaa”
(Tapi jika Engkau meninggalkan hamba, maka kepada siapa lagi kami berharap ?)

 

Di penghujung Ramadhan 1438H

Penulis: Syamsul Karim

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.