Hukum dan Adab I’tikaf

Ramadhan

Masuk Al-Asyrul Awakhir… sepuluh hari terakhir Ramadan, hidupkan sunah nabi dengan beri’tikaf. Silakan dipahami dasar-dasarnya… 

Hukum dan Adab I’tikaf

Definisi:

I’tikaf (الاعتكاف) dari segi bahasa berasal dari kata (العكوف). Artinya; Menetap dan berada di sekitarnya pada masa yang lama.Seperti firman Allah dalam surat Al-Anbiya: 52 dan surat Asy-Syu’ara: 71.

Sedangkan dari segi istilah, yang dimaksud i’tikaf adalah menetap di masjid dalam waktu tertentu dengan niat beribadah.

Landasan Hukum:

Syariat I’tikaf dinyatakan dalam Alquran, hadits dan perbuatan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam serta para sahabat.

–      Dalam surat Al Baqarah ayat125 Allah Ta’ala berfirman,

أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ     – سورة البقرة: 135

“…Bersihkan rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (QS. Albaqarah: 125)

Aisyah radhiallahu anha berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ  – متفق عليه

“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadan hingga beliau wafat. Kemudian para isterinya melakukan I’tikaf sesudahnya.” (Muttafaq alaih).

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf adalah perbuatansunah baik bagi laki-laki maupun wanita. Kecuali jika seseorang bernazar untuki’tikaf, maka dia wajib menunaikan nazarnya.

 

Lama i’tikaf dan Waktunya

Pendapat yang kuat bahwa lama I’tikaf minimal sehari atau semalam, berdasarkan riwayat dari Umar bin Khattab, bahwa beliaumenyampaikan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa dirinya dimasa jahiliah pernah bernazar untuk I’tikaf di Masjidilharam selama satu malam,maka Rasulullah saw bersabda, ‘Tunaikan nazarmu.” (HR. Abu Daud danTirmizi)

Ada pula pendapat yangmengatakan bahwa I’tikaf dapat dilakukan walau beberapa saat saja diam dimasjid. Namun, selain bahwa hal ini tidak ada landasan dalilnya, juga tidaksesuai dengan makna I’tikaf yang menunjukkan berdiam di suatu tempat dalamwaktu yang lama. Bahkan Imam Nawawi yang mazhabnya (Syafii) berpendapat bahwa i’tikafboleh dilakukan walau sesaat tetap menganjurkan agar I’tikaf dilakukan tidakkurang dari sehari, karena tidak ada riwayat dari Rasulullah shallallahu alaihiwa sallam dan para shahabat bahwa mereka melakukan i’tikaf kurang dari sehari.

Sedangkan lama maksimal i’tikaf tidak ada batasnya dengan syarat seseorang tidk melalaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya atau melalaikan hak-hak orang lain yang menjadi kewajibannya. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di tahun wafatnya pernah melakukan I’tikaf selama dua puluh hari (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Adapun waktu i’tikaf, berdasarkan jumhur ulama,sunah dilakukan kapan saja, baik di bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan i’tikafdi bulan Syawal (Muttafaq alaih). Beliau juga diriwayatkan pernah i’tikaf di awal, di pertengahan dan akhir Ramadan (HR. Muslim). Namun waktu i’tikaf yang paling utama dan selalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lakukan hingga akhir hayatnya adalah pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan.

 

Masjid Tempat I’tikaf

Masjid yang disyaratkan sebagai tempat i’tikaf adalah masjid yang biasa dipakai untuk shalat berjamaah lima waktu. Lebih utama lagi jika masjid tersebut juga digunakan untuk shalat Jum’at. Lebih utama lagijika dilakukan di tiga masjid utama; Masjidilharam, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.

Terdapat atsar dari Ali bin Thalib dan Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa i’tikaf tidak sah kecuali di masjid yang dilaksanakan didalamnya shalat berjamaah (Mushannaf Abdurrazzaq, no. 8009). Disamping, jika i’tikaf dilakukan di masjid yang tidak ada jamaah shalat fardhu, peserta i’tikaf akan dihadapkan dua perkara negatif; Dia tidak dapat shalat berjamaah, atau akan sering keluar tempat i’tikafnya untuk shalat berjamaah di masjid lain.

Yang dimaksud masjid sebagai tempat i’tikaf adalah tempat yang dikhususkan untuk shalat dan semua area yang bersambung dengan masjid serta dibatasi pagar masjid, termasuk halaman, ruang menyimpan barang, atau kantor di dalam masjid.

Secara teknis, akan lebih baik jika masjidnya memiliki fasilitas yang dibutuhkan peserta i’tikaf, seperti tempat MCK yang cukup, atau ruangan yang luas tempat tidur dan menyimpan barang bawaan.

 

Kapan mulai I’tikaf pada sepuluh hari terakhirRamadan dan kapan berakhir?

Jumhur ulama berpendapat bahwa i’tikaf dimula isejak sebelum matahari terbenam di malam ke-21 Ramadan. Berdasarkan kenyataanbahwa malam 21 adalah bagian dari sepuluh malam terakhir Ramadan, bahkan termasuk malam ganjil yang diharapkan turun Lailatul Qadar.  Ada juga yang berpendapat bahwa awal i’tikaf dimulai sejak shalat Fajar tanggal 21 Ramadan. Berdasarkan hadits Aisyah rabahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika hendak i’tikaf, beliau shalat Fajar, setelah itu beliau masuk ke tempat i’tikafnya (HR. Muslim).

Adapun waktu berakhirnya, sebagian ulama berpendapat bahwa i’tikaf berakhir ketika dia akan keluar untuk melakukanshalat Id, namun tidak terlarang jika dia ingin keluar sebelum waktu itu. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa waktu i’tikaf berakhir sejak matahari terbenam di hari terakhir Ramadan.

 

I’tikaf Bagi Wanita

Wanita dibolehkan melakukan I’tikaf berdasarkan keumuman ayat. Juga berdasarkan hadits yang telah disebutkan bahwaisteri-isteri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan i’tikaf. Terdapat juga riwayat bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengizinkan Aisyah dan Hafshah untuk melakukan I’tikaf (HR. Bukhari)

Namun para ulama umumnya memberikan syarat bagi wanita yang hendak melakukan I’tikaf, yaitu mereka harus mendapatkan izin dari walinya, atau suaminya bagi yang sudah menikah, tidak menimbulkan fitnah, ada tempat khusus bagi wanita di masjid dan tidak sedang dalam haidh dan nifas.

 

Keluar dari Masjid saat I’tikaf

Secara umum, orang yang sedang i’tikaf tidak boleh keluar dari masjid. Kecuali jika ada kebutuhan pribadi mendesak yang membuatnya harus keluar dari masjid.

Aisyah radhillahu anha berkata,

وَإِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا  – متفق عليه

“Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyorongkan kepalanya kepadaku sedangkan dia berada di dalam masjid, lalu aku menyisir kepalanya. Beliau tidak masuk rumah kecuali jika ada kebutuhan jika sedang I’tikaf.” (Muttafaqalaih)

Perkara-perkara yang dianggap kebutuhan mendesak sehingga seorang yang i’tikaf boleh keluar masjid  adalah; buang hajat, bersuci, makan, minum,shalat Jumat dan perkara lainnya yang mendesak, jika semua itu tidak dapat dilakukan atau tidak tersedia sarananya dalam area masjid.

Keluar dari masjid karena melakukan hal-hal tersebut tidak membatalkan I’tikaf. Dia dapat pulang ke rumahnya untuk melakukan hal-hal tersebut, lalu lekas kembali jika telah selesai dan kemudian meneruskan kembali i’tikafnya. Termasuk dalam hal ini adalah wanita yang mengalami haid atau nifas di tengah i’tikaf.

Akan tetapi jika seseorang keluar dari area masjid tanpa kebutuhan mendesak, seperti berjual beli, bekerja, berkunjung,dll., maka i’tikafnya batal. Jika dia ingin kembali, maka niat i’tikaf lagi dari awal.

Bahkan, orang yang sedang i’tikaf disunahkan tidak keluar masjid untuk menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah dan mencumbu isterinya, sebagaimana perkataan Aisyah dalam hal ini (HR. Abu Daud).

 

Pembatal I’tikaf

Berdasarkan ayat yang telah disebutkan, bahwa yang jelas-jelas dilarang saat I’tikaf adalah berjimak. Maka para ulama sepakat bahwa berjimak membatalkan I’tikaf. Adapun bercumbu, sebagian ulama mengatakan bahwa hal tersebut membatalkan jika diiringi syahwat dan keluar mani. Adapun jika tidak diiringi syahwat dan tidak mengeluarkan mani, tidak membatalkan.

Termasuk yang dianggap membatalkan adalah keluar dari masjid tanpa keperluan pribadi yang mendesak. Begitu pula dianggap membatalkan jika seseorang niat dengan azam kuat untuk keluar dari I’tikaf, walaupun dia masih berdiam di masjid.

Seseorang dibolehkan membatalkan I’tikafnya dan tidak ada konsekwensi apa-apa baginya. Namun jika tidak ada alasan mendesak, hal tersebut dimakruhkan, karena ibadah yang sudah dimulai hendaknya diselesaikan kecuali ada alasan yang kuat untuk menghentikannya.

 

Yang dianjurkan, dibolehkan dan dilarang

Dianjurkan untuk fokus dan konsentrasi dalam ibadah, khususnya shalat fardhu, dan memperbanyak ibadah sunah, seperti  tilawatul quran , berdoa, berzikir, muhasabah, talabul ilmi, membaca bacaan bermanfaat, dll. Namun tetap dibolehkan berbicara atau ngobrol seperlunya asal tidak menjadi bagian utama kegiatan i’tikaf, sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dikunjungi Safhiah binti Huyay, isterinya, saat beliau i’tikaf dan berbicara dengannya beberapa saat. Dibolehkan pula membersihkan diri dan merapikan penampilan sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam disisirkan Aisyah ra saat beliau I’tikaf.

Dilarang saat I’tikaf menyibukkan diri dalam urusan dunia, apalagi melakukan perbuatan yang haram seperti ghibah, namimah atau memandang pandangan yang haram baik secara langsung atau melalui perangkat hp dan semacamnya.

Hindari perkara-perkara yang berlebihan walau dibolehkan, seperti makan, minum, tidur, ngobrol, dll.

Wallahu a’lam bishshaawab

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.