Suatu ketika Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabatnya, ”Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya dari shalat dan puasa? Yaitu engkau damaikan orang-orang yang bertengkar, dan barangsiapa yang ingin panjang usia dan banyak rezeki, sambungkanlah tali silaturahmi.” (HR. Bukhari Muslim)
Menjaga hubungan baik antar saudara muslim dan menyambungkannya dalam tali silaturahim adalah sangat penting, sehingga lebih besar pahalanya dari shalat dan puasa.
Pengertian silaturahim
Sering kita mendengar istilah silaturahim. Istilah ini terdiri dari dua kata “shilah” (tali hubungan) dan “rahim” (kandungan). Olehkarenanya, di dalam bahasa Arab mungkin lebih bermakna khusus kepada hubungan antar keluarga, seperti hadits Qudsi di bawah.
Allah ‘azza wajalla berfirman, “Akulah Sang Rahman. Aku menciptakan rahim dan Aku pula yang mengambilkannya dari nama-Ku. Barangsiapa menyambung rahim (tali kekeluargaan) maka Aku tersambung dengannya, dan barangsiapa memutusnya Aku pun terputus darinya. (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud).
Akan tetapi, silaturahim atau silaturahmi versi Kamus Besar Bahasa Indonesia, bisa berarti tali persahabatan (interpersonal relations), yang tidak terbatas kepada hubungan kerabat satu rahim saja. Apalagi pada dasarnya semua umat manusia mempunyai hubungan kekeluargaan universal karena sama-sama keturunan Nabi Adam. Malah untuk hubungan dengan sesama mukmin, Allah menegaskan dalam surat Al Hujurat 10 bahwa “Innamal mukminuunal ikhwah” (Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara,). Bukankah Rasulullah pun menganggap orang-orang yang tidak pernah melihat beliau tapi beriman dan mencintainya sebagai saudara-saudaranya di akhirat?
Teori Sosiologi Keluarga dan Ramadhan
Ada sebuah teori sosiologi yang menarik mengenai bagaimana cara membina hubungan yang erat (silaturahim) di dalam suatu keluarga. Menurut teori ini hubungan baik antar anggota keluarga bisa dibangun kalau ada tiga faktor: Keikutsertaan (Inclusion), Kedisplinan pada aturan (Control), dan Kedekatan jiwa (Intimacy) (Doherty et al., 1991). Teori ini merefer pada suatu teori sosiologi FIRO (Fundamental Interpersonal Relations Orientation), yang pertama kali dikenalkan oleh William Schutz dalam bukunya “FIRO: A Three Dimensional Theory of Interpersonal Behavior” tahun 1958, untuk membangun hubungan antar personal dalam suatu kelompok,
Baru-baru ini teori sosisologi ini pun digunakan untuk menerangkan dampak Ramadhan dalam suatu keluarga muslim, seperti dibahas sebuah studi yang diterbitkan bulan Februari 2019 lalu, dalam suatu journal ilmiah Religions. Studi ini menjelaskan bagaimana pengaruh ibadah-ibadah pada Ramadhan bisa mempererat hubungan silaturahim antar anggota keluarga, berdasarkan teori sosiologi keluarga di atas (Alghafli et al, 2019).
Ketiga dimensi di atas, misalkan bisa terlihat dalam salah satu komentar dalam studi itu, sbb:
” The thing that we really enjoy and cherish is the month of Ramadan because we do so many things together as a family. We wake up in the middle of the night.
We sit together, we eat together, and we pray together. [We] go to [mosque] and bring food. And we get together as a family.”
Pada bulan Ramadhan semua anggota keluarga bisa melakukan suatu aturan syariat secara bersama-sama. Kegembiraan mereka dengan suasana duduk bersama dan makan bersama, tentu tidak lain karena ada kedekatan hati di dalamnya. Suasana ibadah di bulan Ramadhan mampu memberikan suasana sehingga ketiga dimensi: inclusion, control, dan intimacy bisa tercapai dalam keluarga.
Kalau teori sosiologi bisa menerangkan bagaimana Ramadhan mampu mempererat tali persaudaraan di dalam suatu keluarga, seperti dirangkum penelitian di atas, maka teori ini bisa relevan pula untuk hubungan “persaudaraan/ukhuwah” antara orang-orang mukmin yang lebih luas.
Keikutsertaan (inclusion) dalam acara buka puasa bersama, i”tikaf bareng, shalat taraweh, sahur bersama ketika i”tikaf, sampai saling bermaafan saat pertemuan halal bil halal setelah Idul Fitri dan pembagian zakat fitrah, semuanya akan memberikan suasana kedekatan batin antar orang beriman yang melaksanakannya. Insya Allah, tali silaturahim akan semakin kuat, dari yang tidak kenal menjadi mengenal saudaranya. Perkenalan yang berawal dari kebersamaan dalam beribadah kepadaNya. Pertemuan dan perpisahan karena Allah ini mudah-mudahan menjadi sebab diberikannya naungan Allah di hari Kiamat kelak.
Penulis:
Hamdan Syifa