Selama tinggal bertahun-tahun di Jepang, baru kali ini bisa merasakan shalat tarawih di mesjid Kobe. Mesjid tertua di Jepang yang usianya tahun ini genap 80 tahun masih nampak megah berdiri tegak di tengah bangunan modern, bahkan cukup dekat dengan salah satu pusat keramaian Kobe. Sebuah foto pada waktu perang dunia yang terpampang di dinding mesjid seakan mengisahkan keajaiban ketika bangunan di sekitarnya hancur lebur rata dengan tanah, hanya mesjid ini yang masih utuh. Tidak hanya itu, ketika terjadi gempa Kobe yang menewaskan sekitar 6000 orang lalu, masjid ini bisa tetap berdiri tegak. Seolah Allah Yang Maha Kuasa berkehendak untuk melestarikan bangunan tua ini.
Malam itu di Mesjd Kobe agak istimewa, karena usai shalat tarawih dilanjutkan dengan shalat jenazah. Suatu hal yang jarang terjadi karena dilakukan setelah shalat tarawih di malam hari. Rupanya ada yang meninggal dunia yaitu seorang muslim China yang tinggal Kyoto, kota berjarak kurang lebih 60 km dari Mesjid Kobe. Hidup memang bisa berakhir kapan saja di mana saja. Dia adalah misteri yang tidak ada yang tahu kapan berakhir. Tapi, manusia ketika meninggal, keadaannya mirip kembali ketika lahir. Manusia ketika lahir dimandikan oleh orang lain, ketika meninggalpun ia dimandikan oleh orang di sekitarnya. Bedanya ketika bayi dimandikan oleh orang sudah lebih dulu hidup di dunia dan pasti lebih tua usianya, tapi ketika meninggal kita dimandikan oleh orang yg masih hidup di dunia, yang kebanyakan oleh anak-anaknya atau yang lebih muda usianya. Manusia lahir telanjang, ketika matipun tidak ada pakaian kecuali kain kafan yang melekat di tubuhnya. Ayat an-Nahl di bawah yang dibacakan imam tarawih yang hafidz Quran seakan tepat menggambarkan bahwa asal manusia yang keluar dari perut ibunya. Kelak arwah kita akan kembali lagi kepadaNya, sementara jasad kita akan lebur dengan tanah.
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur” (Q.S. 16:78).
Hidup untuk bersyukur adalah kata kuncinya. Ungkapan syukur akan terwujud dalam bentuk amal kebaikan dan pengabdian (ibadah) kepada Sang Pencipta, karena dalam ayat lain dituliskan“(Dia) Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”(Q.S 67:2) dan “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”(Q.S. 52:56).
Kembali tentang tarawih di mesjid Kobe. Tak jarang shalat tarawih di negeri orang akan memberikan kesan tersendiri yang tidak dirasakan di tanah air. Di sana bisa bertemu dengan orang-orang yang berbeda warna kulit dan bahasa yang disatukan semata-mata hanya untuk menyembah Allah, sang Pencipta. Ada yang kulitnya berwarna putih kuning, coklat atau ada yang hitam. Ah.., jasad manusia ini ibarat casing handphone (HP). Casing HP bisa bermacam ragam, warna warni, tapi tanpa operator atau ketika habis pulsa, sebagus apapun telpon itu tetap tidak berfungsi. Seiring dengan waktu, casing telpon juga lama-lama akan rusak. Casing manusia pun ada beragam coraknya. Casing dengan jenis laki-laki dan perempuan, berbagai jenis bangsa dan kulit, bentuk tubuh yang tinggi atau pendek, wajah yang berbeda-beda. Namun semuanya sifatnya given. Ketika lahir kita tidak bisa memilih casing. Tidak ada bayi yang bisa menentukan siapa orang tuanya, atau memilih di mana dia ingin dilahirkan, yang sedikit banyak akan membentuk casing setelah bayi itu lahir.
Tapi Allah tidak melihat casing jasad kita. Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian akan tetapi Dia melihat kepada hati-hati kalian dan perbuatan-perbuatan kalian.” (HR. Muslim). Yang dilihat Allah ialah ketulusan niat di hati dan perbuatan nyata dari kontribusi kita sebagai ungkapan syukur kita. Misalnya di Rusia, ada kota bernama Tomsk yang berada di tengah hutan Siberia dan di kala musim dingin suhunya bisa mencapai 30-40 derajat di bawah nol ini, ternyata di sana juga sudah berdiri mesjid yang berusia lebih 100 tahun dengan komunitas muslim yang cukup kuat. Sama seperti mesjid Kobe, ini adalah buah kerja para mujahid dakwah masa lalu yang telah mengenalkan kalimat tauhid di sana. Kontribusi mereka terus terasa hingga saat ini. Kita bisa membayangkan betapa besar perjuangan para da’i di masa lalu untuk mendirikan tempat ibadah ketika Islam masih sangat asing bagi orang Jepang. Mereka yang pernah ikut berperan dalam pendirian mesjid ini, mungkin raganya sudah tidak ada lagi di dunia ini, tapi hasil jerih payahnya masih bisa dirasakan oleh orang yang hidup pada masa kini dan mungkin terus hingga akhir zaman. Pahala mereka dari amal jariahnya akan terus mengalir tanpa henti. Maka, selagi jasad kita masih belum terkubur di dalam tanah, tak sepatutkah kita bertanya: mana giliran kontribusi dakwah kita sehingga kelak bisa dirasakan oleh anak-cucu kita di dunia, khususnya di negeri sakura ini?
Jika esensinya diubah dalam kerangka dakwah, mungkin syair lagu terkenal saat bencana tsunami tahun 2011 ini bisa menggambarkan pertanyaan tadi: “hana wa hana wa hana wa saku, watashi wa nani wo nokoshita darou” (花は花は、花は咲く、私は何を残しただろう)–”bunga-bunga” kelak akan selalu tumbuh berkembang, lalu kontribusi apa yang telah aku tinggalkan untuk mereka?
Ramadhan 1436H,
Syafa Hamidan