Aksi terorisme yang melanda tanah air baru-baru ini membuat kita semua sedih sekaligus kecewa. Terlebih bagi muslim yang tinggal di Jepang, peristiwa ini bukan tidak mungkin akan lebih mempersulit mereka dalam mengubah presepsi buruk tentang Islam yang sudah melekat pada benak orang-orang Jepang. Padahal, sebenarnya Islam adalah ajaran mulia yang penuh toleransi, yang menyuruh memproduksi kebaikan-kebaikan bagi semesta alam dan melarang manusia untuk berbuat kerusakan. Kita akan temui dalam dalam Al Qur’an banyak perintah Allah untuk melakukan perbuatan baik atau pelayanan terhadap orang lain, setelah perintah beriman dan beribadah mahdhah kepada Allah.
Dalam surat Al Ashr, yang mungkin sering kita baca dan dengar, mengerjakan kebajikan (‘amal shaleh) disebutkan Allah setelah perintah beriman.
“Demi masa. Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran” (Q.S. 103:1-3).
“Wahai orang-orang beriman, rukuklah, sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebaikan agar kamu beruntung” (Al Hajj: 77).
Dalam ayat inipun, Allah SWT memerintahkan berbuat kebaikan (af’al khair) yang menyertai perintah rukuk, sujud, dan menyembah Allah.
“…dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan” (Al Qashash:77).
Perintah berbuat baik (ihsan) dengan larangan melakukan kerusakan di bumi juga disampaikan Allah. Berbuat baik perlu dilakukan karena Allah telah banyak berbuat baik kepada kita.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (Al Mumtahanah:8)
Di dalam ayat ini, bahkan perbuatan baik (al-birr) yang kita lakukan bisa bersifat universal kepada seluruh manusia, tidak memandang apakah orang yang diberi kebaikan itu muslim atau bukan, sepanjang tidak mereka memerangi kita.
Banyak lagi kisah di zaman Rasulullah dan sahabat yang menggambarkan penghargaan dan toleransi terhadap orang-orang non-muslim yang tidak memerangi kita. Jangankan terhadap sesama manusia, terhadap tanaman dan hewan pun, kita tidak diperbolehkan untuk merusak dan membunuhnya tanpa maksud yang dibenarkan.
Rasulullah, ketika hendak melepas laskar pasukan untuk berperang, sering berpesan agar tidak menebang/membakar pohon kurma atau pohon yang berbuah, kecuali jika akan digunakan atau dimakan, dan jangan membunuh hewan-hewan ternak kecuali untuk dimakan, dan menghormati rumah ibadah, serta jangan sekali-kali mengusik mereka yang sedang beribadah menurut agama mereka masing-masing, dan jangan membunuh orang tua sepuh, anak-anak dan wanita yang tidak terlibat peperangan. (terangkum dari beberapa hadits riwayat Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan al-Baihaqi).
Berkenaan dengan rumah ibadah tersebut, hal serupa terdapat pula di dalam al Quran, bahwa Allah menjaga rumah-rumah ibadah dari agama-agama samawi yang lain:
“Dan sekiranya Allah tiada menahan (keganasan) sebagian manusia dari sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid” (Q.S. 22:40).
Yang menarik lagi, Rasulullah bahkan pernah memberikan kesempatan untuk beribadah kepada delegasi para pendeta Kristen dari Najran (Yaman) untuk tetap bebas beribadah di masjid Nabawi (Madinah). Sekalipun Nabi saat itu berdebat dengan para tokoh Nasrani tersebut mengenai keyakinan mereka bahkan sampai turun ayat untuk bermubahalah (Ali Imran 61), namun Nabi tetap menghormati dan mengizinkan mereka melakukan kebaktian di dalam masjid (Al Jami’u li Akham al Qur’an, Imam Qurtubi).
Fakta lain ialah ketika Khalifah Umar bin Khattab berhasil membebaskan Yerusalem dari kekuasaan Romawi, beliau menjamin hak beribadah kaum Nasrani di sana dan berjanji tidak akan menghancurkan rumah-rumah ibadah mereka.
Jadi, konsep ajaran Islam telah menyatukan antara aspek ibadah kita kepada Allah (seperti dalam ayat Al Hajj 77 di atas, yaitu diperintahkan untuk rukuk, sujud, dan menyembahkan Allah) dan aspek pelayanan/berbuat baik kepada sesama manusia dan makhuq lainnya (‘amal shaleh/af’al khair/ ihsan/ al-birr). Kedua aspek ini sering dituliskan bersama-sama dalam satu ayat, misalkan dalam bentuk pasangan kata: iman dan amal shaleh:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk” (Al Bayyinah 7).
Di beberapa ayat, kedua aspek itu kadang tergambarkan juga dalam bentuk pasangan kata lain: shalat dan zakat, karena shalat adalah ibadah vertikal kepada Allah (hablumminallah) yang menandakan keimanan seseorang, sedangkan zakat sifatnya horizontal yang langsung ditujukan terhadap sesama manusia (hablumminannas) sebagai implementasi perbuatan baik kepada manusia yang lain. Karena inilah, di dalam surat Al Bayyinah 5 secara spesifik ditekankan bahwa beginilah definisi agama yang benar/lurus (Diinul Qayyimah).
Mengingat pentingnya esensi kedua aspek itu dalam Islam, seolah-olah Allah menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai bulan spesial untuk melatih kita agar terbiasa untuk melakukan keduanya, yaitu selain ibadah vertikal melalui puasa, tilawah, shalat tarawih dsb, juga ibadah horizontal dengan memberikan pelayanan kepada sesama melalui zakat, sedekah memberi makan orang yang berbuka, berderma dsb.
Pemberian pelayanan dari seorang muslim adalah bentuk kontribusi sosial yang akan dirasakan manfaatnya secara universal (rahmatan lil ‘alamin). Tahukah kita, bahwa kamera yang kita pakai sehari-hari adalah produk yang diciptakan oleh ilmuwan muslim Irak bernama Ibnu Haytham, yang hingga saat ini pun manfaatnya tidak saja dirasakan oleh orang muslim, tapi juga oleh orang-orang non-muslim. Dasar-dasar ilmu kedokteran pun dibangun oleh ahli kedokteran muslim bernama Ibnu Sina. Bahkan manfaat zakatpun bisa dirasakan pula oleh non-muslim, karena sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Az-Zuhri dsb. membolehkan pemberian zakat fitrah kepada orang-orang miskin dari kalangan non-muslim yang bertempat tinggal di antara kaum muslim, berdasarkan firman Allah dalam surat Al Mumtahanah 8 di atas (Panduan Lengkap Ibadah, Muhammad Baqir 2015).
Kontribusi di bidang ilmu pengetahuan kimia misalnya, ada Jabir ibnu Hayyan yang telah menulis Kitab al-Kimya di zaman Khalifah Harun Al Rasyid (abad ke 8 M) dan diakui sekarang sebagai Bapak Kimia Modern. Beliaulah yang pertama kali menekankan pentingnya melakukan eksperimen sebagai sesuatu yang esensial dalam pengembangan ilmu Kimia. Salah satu penemuannya ialah larutan aqua regia (campuran pekat asam klorida dan asam nitrat) yang bermanfaat untuk melarutkan emas, dan banyak digunakan orang hingga saat ini untuk “etching” permukaan metal lainnya. Sejarah pun mencatat banyak ilmuwan muslim lainnya yang telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Itu hanya salah satu contoh kontribusi sosial dalam rangka berbuat kebajikan (amal sholeh) bagi orang lain. Amal sholeh tidak terbatas dalam sedekah/zakat dengan harta saja, tapi bisa dengan potensi masing-masing yang dimiliki. Setiap orang lahir dengan bakat dan potensi berbeda-beda. Jangan pernah minder dengan kondisi sekarang yang ia miliki. Selemah apapun, dia masih bisa memberikan pelayanan/kontribusi. Seperti kisah dalam hadist tentang sekelompok orang miskin yang mengeluh tidak bisa bersedekah banyak seperti orang-orang kaya, kemudian diingatkan oleh Rasulullah:
”Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu segala sesuatu untuk bershodaqoh? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah shodaqoh, tiap-tiap tahmid adalah shodaqoh, tiap-tiap tahlil adalah shodaqoh, menyuruh kepada kebaikan adalah shodaqoh…”(H.R Muslim).
Tentunya, agar bisa memberikan kontribusi optimal, maka diperlukan modal dan usaha yang optimal (“haqqa jihaadih” – “to do the best”, Q.S. Al Hajj 78) agar tidak terjadi “defisit kebaikan” (meminjam istilah Ust. Hilmi Aminuddin). Seorang yang ingin berkontribusi di bidang harta (maaliyah), ia mesti berusaha mendapatkan kekayaan yang cukup sehingga ia bisa berinfaq dan berzakat dalam jumlah banyak. Seorang yang ingin menyumbangkan keahlian (faniyah) atau berkontribusi di bidang keilmuan (ilmiyah), maka ia mesti belajar dan berjuang mencari ilmu setinggi mungkin. Seorang pemain sepakbola, agar bisa memberikan kontribusinya di masyarakat menjadi pemain profesional yang terbaik, mau tidak mau ia harus berlatih sungguh-sungguh tiap hari.
Tatkala seseorang sudah menekuni kontribusinya hingga dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, maka dengan sendirinya akan datang penghargaan/kepercayaan dari masyarakat. Hal ini seperti digambarkan dalam pepatah Arab yang berbunyi: “Annas yuwalluuna man khaadimuhum” (Manusia itu akan memberikan loyalitasnya kepada orang yang telah melayaninya).
Bahkan seorang pemulung daun yang tekun tiap hari membersihkan mesjid pun bisa memperoleh penghargaan yang tinggi dari Rasulullah. Ingat kisah Ummu Mahjan, seorang wanita tua yang lemah, penyapu mesjid Nabawi. Sampai-sampai Rasulullah langsung mencari makamnya dan menshalatkannya setelah tahu bahwa Ummu Mahjan sudah meninggal pada suatu hari ketika Rasulullah tidak melihat orang yang biasanya rajin membersihkan mesjid itu.
Sungguh indah perumpamaan dalam Quran, bahwa seorang muslim itu seperti pohon rindang dan menjulang tinggi yang berakar kuat dengan buah yang bisa dipetik di segala musim (Q.S Ibrahim 24-25). Pohon tersebut tentu akan bermanfaat bagi orang yang berteduh di bawahnya.
Seekor kupu-kupu begitu keluar dari kepompong tidak hanya indah dipandang mata, tapi ia bermanfaat untuk penyerbukan tanaman. Momen sebulan Ramadhan ini ibarat fase kepompong tanpa makan dan minum, di mana kita dilatih untuk bisa memberikan pelayanan, dari sekedar memberikan seteguk minum orang berbuka sampai mengeluarkan zakat fitrah. Setelah “wisuda” dari pelatihan di bulan yang penuh berkah ini, mudah-mudahan kelak bisa berkontribusi yang lebih besar, sesuai dengan potensi masing-masing. Bukankah tujuan puasa adalah agar menjadi orang bertaqwa, sementara Al birru (kebaikan) dan Ketaqwaan mempunyai hubungan yang sangat erat. (Lihat Q.S Al Maidah 2, Al Baqarah 177).
“.. orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (Q.S Ali Imran 133).
Secara logika, kalau kita hubungkan antara sabda Rasulullah tentang orang yang paling baik:
“Khairunnas anfa’uhum linnas” (Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia) atau “Khairul bariyyah’ di dalam surat Al Bayyinah 7 (Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk),
dengan ayat al Quran surat Al Hujurat 13:
“Inna akramakum ‘indallahi atqaakum” (Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah, adalah yang paling bertaqwa),
Di dalam ketiga hadits/ayat tersebut sama-sama digambarkan kriteria dari “the best human-being” (Khairunnas=Khairumbariyyah=orang yang paling bertaqwa), maka bisa disimpulkan bahwa salah satu ciri orang yang bertaqwa ialah ia bermanfaat bagi manusia lain.
Sungguh indah masyarakat muslim, ketika setiap individu, dari tukang sapu, pedagang sampai presiden, apapun profesinya, fokus berlomba-lomba untuk memproduksi kebaikan (fastabiqul khairat) sesuai potensi masing-masing dalam rangka mencapai derajat taqwa. Tidak ada peristiwa pengrusakan-pengrusakan apalagi terorisme, melainkan semuanya berusaha memberikan kontribusi kebaikan terbaik dari apa yang mereka miliki. Dan bulan Ramadhan ini adalah latihannya.