Manusia bukan robot yang bisa bekerja secara terus-menerus dalam jangka yang lama. Dalam bahasa Jepang pun ada istilah “kibun tenkan”, yang artinya pergantian suasana hati. Setelah melakukan suatu aktivitas yang monoton dan melelahkan, kita memerlukan satu saat untuk melakukan perubahan suasana jiwa. Seorang karyawan di kantor yang sehari-hari kerjanya berada di depan komputer, akan memerlukan saat-saat tertentu untuk beristirahat ke tengah lapang dan menghirup udara segar. Demikian juga seorang dai yang waktu-waktunya habis untuk melakukan aktivitas yang padat dalam merencanakan dan melakukan kerja-kerja dakwah, maka memerlukan suasana yang berbeda agar tidak merasakan kebosanan. Dr. Sayyid Muhammad Nuh (ahli hadits Universitas Al Azhar Kairo, wafat 2007) menuliskan bahwa salah satu sebab futur (degradasi dalam beribadah) dari aktivis dakwah adalah justru karena terlalu berlebihan dalam beribadah sehingga menimbulkan kebosanan. Koq ibadah bisa bosan? Rasulullah pernah mengingatkan bahwa masalah penyakit bosan ini bisa timbul dalam diri setiap orang, seperti tersirat dalam beberapa hadistnya.
“Sesungguhnya agama Islam itu mudah dan tidaklah orang yang berlebihan dalam beragama melainkan ia akan dikalahkan olehnya”. (Riwayat Bukhari)
“Berbuatlah sesuai dengan kemampuanmu, sesungguhnya Allah tidak akan merasa bosan sampai kamu sendiri yang merasa bosan. Dan sesungguhnya amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang terus-menerus sekali pun sedikit”.(Mutafaq alaih)
Rasulullah sangat bijak ketika menjawab kegalauan Hanzhalah yang merasa munafik. Dalam bukunya Halal dan Haram, Ustadz Yusuf Qardhawi menukil tentang kisah ini.
Namanya Hanzhalah al-Asidi, dia termasuk salah seorang penulis Nabi. Ia menceriterakan tentang dirinya sebagai berikut.
Satu ketika aku bertemu Abubakar, kemudian terjadilah suatu dialog:
Abubakar: Apa kabar, ya Hanzhalah?
Aku: Hanzhalah berbuat nifaq!
Abubakar: Subhanallah, apa katamu?
Aku: Bagaimana tidak! Jika aku bersama Rasulullah s.a.w., yang menuturkan kepadaku tentang Neraka dan Sorga, seolah-olah Sorga dan Neraka itu saya lihat dengan mata-kepalaku. Tetapi setelah saya keluar dari tempat Rasulullah s.a.w., kemudian bermain-main dengan isteri dan anak-anak, serta bergelimang dalam pekerjaan, maka saya sering lupa tutur Nabi itu!
Abubakar: Demi Allah, saya juga berbuat demikian!
Aku: Kemudian saya bersama Abubakar pergi ke tempat Rasulullah s.a.w. Kepadanya, saya katakan: Hanzhalah nifaq, ya Rasulullah!
Rasulullah: Apa!?
Aku: Ya Rasulullah! Begini ceritanya: saya ini selalu bersamamu. Engkau ceritakan kepada saya tentang Neraka dan Sorga, sehingga seolah-olah saya dapat melihat dengan mata-kepala. Tetapi apabila saya sudah berpisah dari sisimu, saya bertemu dengan isteri dan anak-anak serta sibuk dalam pekerjaan, saya banyak lupa!
Kemudian Rasulullah s.a.w, bersabda:
“Demi Dzat yang diriku dalam kekuasaannya! Sesungguhnya andaikata kamu konsisten terhadap apa yang pernah kamu dengar ketika bersama aku dan juga tekun dalam dzikir, niscaya Malaikat akan bersamamu di tempat tidurmu dan di jalan-jalanmu. Tetapi hai Hanzhalah, saa’atan, saa’atan! (berguraulah sekedarnya saja!). Diulanginya ucapan itu sampai tiga kali.” (Riwayat Muslim).
Beberapa ucapan para sahabat menguatkan bahwa menghilangkan kebosanan dalam diri kita itu penting. Di dalam buku yang sama, Yusuf Qardhawi menyebutkan nasihat para sahabat untuk menghalau rasa bosan ini.
Ali bin Abu Thalib pernah berkata: “Sesungguhnya hati itu bisa bosan seperti fisik ketika banyak melakukan pekerjaan. Oleh karena itu carilah keindahan hikmah (cara-cara yang bijak untuk menghindarinya) demi kepentingan hati.”
Dan katanya pula: “Istirahatkanlah hatimu sekedarnya, sebab hati itu apabila tidak suka, bisa buta.”
Abu Darda’ pun berkata juga: “Sungguh hatiku ketika sedang bosan maka kuisi dengan sesuatu yang kosong (permainan/riyadhah), supaya lebih kuat dapat membantu untuk menegakkan yang hak.”
Islam mengajarkan prinsip tawazun (keseimbangan) termasuk dalam memperlakukan hati/jiwa. Ada saatnya kita bekerja, ada saatnya rekreasi, ada saatnya bercengkrama bersama keluarga, ada saatnya untuk menuntut ilmu. Hilangnya salah satunya, membuat jiwa, menjadi buta, dan badan menjadi sakit. Sebaliknya pengobatan penyakit fisik pun bisa dilakukan dengan cara menyeimbangkan kebutuhan jiwa di atas. Allah memperjalankan Isra Miraj pada saat Rasulullah mengalami kedukaan yang mendalam karena kehilangan dua orang yang dikasihinya yaitu Abu Thalib, pamannya dan Siti Khadijah istrinya pada tahun ke- 10 kenabian yang disebut sebagai ‘Am al-Huzn (tahun duka cita). Perjalanan Isra Miraj ini dipandang sebagai sarana rihlah yang Allah terapkan untuk melepaskan kedukaan Rasulullah.
Shalat adalah cara untuk menentramkan hati. Pernah Rasulullah meminta Bilal untuk adzan shalat dengan mengucapkan “Ya Bilal aqimis shalat. Arihna biha”. -“Bangkitlah wahai bilal, hiburlah kami dengan sholat.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
“Ju’ila qurratu a’yun fisshalah” -“Telah dijadikan kesejukan mataku di dalam sholat.” (HR. an-Nasa’i dan Ahmad).
Namun, Rasulullah pun bercengkrama dengan isterinya atau bermain dengan Hasan Husein, cucu-cucunya.
Rasulullah pernah bermain kuda-kudaan Hasan dan Husain. Ketika Rasulullah sedang merangkak,sementara kedua cucunya berada di punggungnya, Umar datang lalu berkata, “Hai anak-anak, alangkah indah tungganganmu.” Rasulullah menimpali, “Alangkah indahnya para penunggangnya!”
Rasulullah pernah mengajak Aisyah untuk melihat tontonan yang diperagakan orang habsyi. Atau pernah beliau dengan Aisyah saling berlomba lari dsb.
Belakangan ini, rekreasi (rihlah) pun dipakai sebagai salah satu terapi penyakit kanker, seperti yang dilakukan di Univesity of Michigan.
Islam memang menganjurkan tawazun terhadap tubuh kita, sebagaimana firman Allah:
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu ,tetapi janganlah kamu lupakan bahagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu,dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi, Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan”.[Surah Al Qashash, 28:77].
MRI