I’tikaf

Ramadhan

Fiqih I’tikaf

A. Pengertian

Secara literal (lughatan), kata “الاعْتِكاف” berarti “الاحتباس” (memenjarakan). I’tikaf berasal dari kata ‘akafa yang bermakna menetapi sesuatu dan menahan diri dari padanya, baik itu berupa kebaikan ataupun kejahatan.
Ada juga yang mendefinisikannya dengan:
حَبْسُ النَّفْسِ عَنْ التَّصَرُّفَاتِ الْعَادِيَّةِ
“Menahan diri dari berbagai kegiatan yang rutin dikerjakan”.

Sedangkan definisinya menurut para fuqaha adalah:
الْمُكْثُ فِي الْمَسْجِدِ بِنِيَّةِ القُرْبَةِ
Menetap di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.

Atau:
لُزُومُ الْمَسْجِدِ لِطَاعَةِ اللهِ وَالاِنْقِطَاعِ لِعِبَادَتِهِ، وَالتَّفَرُّغِ مِنْ شَوَاغِلِ الْحَيَاةِ
Menetap di masjid untuk taat dan melaksanakan ibadah kepada Allah saja, serta meninggalkan berbagai kesibukan dunia.

B. Hukum dan dalil

Hukum melakukan I’tikaf adalah sunnah, dan sunnah muakkadah di sepuluh hari terakhir Ramadhan, berdasarkan sabda Rasulullah saw:

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

“Sungguh saya beri’tikaf di di sepuluh hari awal Ramadhan untuk mencari malam kemuliaan (lailat al-qadr), kemudian saya beri’tikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian Jibril mendatangiku dan memberitakan bahwa malam kemuliaan terdapat di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Barangsiapa yang ingin beri’tikaf, hendaklah dia beri’tikaf (untuk mencari malam tersebut). Maka para sahabat pun beri’tikaf bersama beliau.”

Dalam hadits di atas, nabi memberikan pilihan kepada para sahabat untuk melaksanakan i’tikaf. Hal ini merupakan indikasi bahwa i’tikaf pada asalnya tidak wajib.

I’tikaf menjadi wajib jika seseorang telah bernadzar untuk melakukannya.
Umar radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai rasulullah! Sesungguhnya saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf selama satu malam di Masjid al-Haram.” Nabi pun menjawab, “Tunaikanlah nadzarmu itu!”

I’tikaf disyari’atkan berdasarkan dalil dari Al Quran, sunnah, dan ijma’. Berikut dalil-dalil pensyari’atannya.

1. Dalil al-Qur’an

وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (Al-Baqarah (2): 125).

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Al Baqarah: 187).

Penyandaran i’tikaf kepada masjid yang khusus digunakan untuk beribadah dan perintah untuk tidak bercampur dengan istri dikarenakan sedang beri’tikaf merupakan indikasi bahwa i’tikaf merupakan ibadah.

2. Dalil hadits

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah ra ia berkata: Nabi Muhammad saw selalu i’tikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Dan pada tahun wafatnya, beliau i’tikaf selama dua puluh hari. (HR. Bukhari).

قَوْلُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ [رواه البخاري ومسلم]
Aisyah ra berkata: Rasulullah saw melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan) sampai Allah mewafatkan beliau. Kemudian para istrinya melakukan i’tikaf sepeninggal beliau. (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Dalil ijma’

a. Ibnul Mundzir rahimahullah dalam kitab beliau Al Ijma’. Beliau mengatakan,
وأجمعوا على أن الاعتكاف لا يجب على الناس فرضا إلا أن يوجبه المرء على نفسه فيجب عليه
“Ulama sepakat bahwa i’tikaf tidaklah berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf, dengan demikian dia wajib untuk menunaikannya.”
b. An Nawawi rahimahullah mengatakan,
فالاعتكاف سنة بالاجماع ولا يجب إلا بالنذر بالاجماع
“Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan ijma dan ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf.”

c. Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.”

C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan
Imam Ibn al-Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Zaadul Ma’ad mengatakan bahwa tujuan i’tikaf adalah agar hati terfokus kepada Allah saja, terputus dari berbagai kesibukan kepada selain-Nya, sehingga yang mendominasi hati hanyalah cinta kepada Allah, berdzikir kepada-Nya, semangat menggapai kemuliaan ukhrawi dan ketenangan hati sepenuhnya hanya bersama Allah swt. Tentunya tujuan ini akan lebih mudah dicapai ketika seorang hamba melakukannya dalam keadaan berpuasa, oleh karena itu i’tikaf sangat dianjurkan pada bulan Ramadhan khususnya di sepuluh hari terakhir.

Manfaat
1. Terbiasa melakukan shalat lima waktu berjamaah tepat waktu.
2. Terlatih meninggalkan kesibukan dunia demi memenuhi panggilan Allah.
3. Terlatih untuk meninggalkan kesenangan jasmani sehingga hati bertambah khusyu’ dalam beribadah kepada Allah swt.
4. Terbiasa meluangkan waktu untuk berdoa, membaca Al-Quran, berdzikir, qiyamullail, dan ibadah lainnya dengan kualitas dan kuantitas yang baik.
5. Terlatih meninggalkan hal-hal yang tidak berguna bagi penghambaannya kepada Allah swt.
6. Memperbesar kemungkinan meraih lailatul qadar.
7. Waktu i’tikaf adalah waktu yang tepat untuk melakukan muhasabah dan bertaubat kepada Allah swt.

D. Ketentuan I’tikaf

Rukun i’tikaf:
1. Mu’takif (orang yang beri’tikaf)(المُعْتَكِفُ)
2. Niat (النِّيَّة)
3. Menetap (اللُّبْثُ). Tidak ada batasan minimal yang disebutkan oleh Al-Quran maupun Hadits tentang lamanya menetap di masjid. Namun untuk i’tikaf sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan waktu i’tikaf yang ideal dimulai pada saat maghrib malam ke-21 sampai maghrib malam takbiran.
4. Tempat i’tikaf (المُعْتَكَفُ فِيهِ)

Syarat i’tikaf:
• Syarat yang terkait dengan mu’takif: beragama Islam, berakal sehat, mampu membedakan perbuatan baik dan buruk (mumayyiz), suci dari hadats besar (tidak junub, haid, atau nifas).
• Syarat yang terkait dengan tempat i’tikaf: masjid yang dilakukan shalat Jumat dan shalat berjamaah lima waktu di dalamnya. Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah mengatakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”

Lama waktu berdiam di masjid
Di dalam Islam, seseorang bisa beri’tikaf di masjid kapan saja, namun dalam konteks bulan Ramadhan, maka dalam kehidupan Rasulullah Saw, I’tikaf itu dilakukan selama sepuluh hari terakhir.
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimal melakukan i’tikaf. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf.
Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.
Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”

Waktu Memulai I’tikaf
Yang terdapat di dalam sunnah, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mulai masuk ke dalam tempat yang ia siapkan untuk I’tikafnya adalah setelah shalat Shubuh pada hari yang ke-21 Ramadhan. ‘Aisyah Rhadiyallahu ‘Anha berkata, ‘Adalah Rasulullah apabila hendak beri’tikaf, beliau shalat Shubuh kemudian masuk ke tempat I’tikafnya.’ [HR. Muslim 1172 dan Abu Dawud 2464].
Masuknya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ke tempat I’tikafnya setelah shalat Shubuh tidak bermakna bahwa beliau baru masuk masjid dan beri’tikaf setelah fajar tiba. Tidak, tetapi beliau masuk ke masjid untuk I’tikaf adalah sebelum terbenamnya matahari pada tanggal 20 Ramadhan dan baru masuk ke tempat khusus di dalam masjid untuk I’tikaf seusai melaksanakan shalat Shubuh. Sebab, jika tidak dimaknai demikian (yaitu tetap dimaknai bahwa beliau beri’tikaf di awal siang/usai shalat Shubuh), maka I’tikaf Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak dapat dikatakan sebagai al-‘Asyrul Awahir (10 yang terakhir) karena beliau telah kehilangan seluruh malamnya (yaitu malam ke-21). Sedang kata ‘sepuluh terakhir’ maksudnya adalah nama bagian malam, dan bermula pada malam kedua puluh satu.
Dengan demikian, barangsiapa yang hendak beri’tikaf, maka hendaknya ia masuk masjid sebelum matahari terbenam pada tanggal 20 Ramadhan malam ke-21.
Demikian pendapat Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad di dalam satu pendapatnya. Wallahu A’lam.

Waktu mengakhiri i’tikaf
Diperbolehkan meninggalkan tempat I’tikaf (masjid) setelah terbenamnya matahari pada malam ‘Idul Fithri. Namun, yang lebih utama adalah keluar setelah melaksanakan shalat Shubuh di hari ‘Idul Fithri.
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu berkata, ‘Kami pernah beri’tikaf bersama Rasulullah di Asyrul Aushat (11-20 ramadhan), tatkala di Shubuh hari 20 ramadhan kami mengangkut barang-barang kami.’ [HR. Bukhari 2040].
Ibrahim an-Nakha’i berkata, ‘Mereka menyukai, bagi mu’takif (yang beri’tikaf) untuk bermalam di masjid pada malam ‘Idul Fithri hingga Shubuh hari.’ [HR. Ibnu Syaibah 3193].

Hal-Hal Yang Diperbolehkan selama i’tikaf:
Orang yang beri’tikaf bukan berarti hanya berdiam diri di masjid untuk menjalankan peribadatan secara khusus, ada beberapa hal yang diperbolehkan.
1. Diperbolehkan keluar dari masjid untuk keperluan buang hajat, mengambil makanan dan minuman jika tidak ada yang mengantarkannya ke masjid. ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata, ‘Adalah Rasulullah apabila beri’tikaf ia mendekatkan kepalanya lalu aku menyisiri rambutnya, dan beliau tidak masuk ke dalam rumah kecuali lantaran ada keperluan manusia.’ [HR. Muslim 297, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban].
2. Diperbolehkan keluar untuk kepentingan berwudhu dan mandi jika di dalam masjid tidak menyediakan fasilitas tersebut.
3. Diperbolehkan menyisir dan merapikan rambut, dan kedua hal itu tidak menafi’kan maksud i’tikaf. [Lihat hadits sebelumnya tentang ‘Aisyah yang menyisiri rambut Rasulullah].
4. Al-Khattabi berkata, ‘Dan yang semakna dengan menyisir rambut adalah memotong kuku, membersihkan badan dari debu dan kaki …’ [Ma’alimus Sunan 2/834].
5. Diperbolehkan membuat kemah kecil atau bilik kecil dengan kain di dalam masjid (sebagai tempat khusus untuk i’tikaf). Dan ‘Aisyah memasang tenda untuk Nabi ketika beliau hendak i’tikaf. [HR. Bukhari 2034].
6. Boleh meletakkan kasur untuk i’tikaf. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa jika beliau beri’tikaf maka disiapkan atau diletakkan kasur atau dipan di belakang tiang Taubah. [Riwayat Ibnu Majah dalam Zawaidnya dan al-Baihaqi].
7. Diperbolehkan membicarakan hal yang mubah dengan keluarga atau sesama peserta i’tikaf untuk suatu kemaslahatan. Hal ini disandarkan pada hadits Shafiyah – Ummul Mukminin -, ‘Ketika Nabi sedang melakukan i’tikaf, aku datang mengunjunginya pada suatu malam, lalu aku berbicara kepada beliau kemudian aku bangun untuk beranjak pergi, dan Nabi pun turut berdiri menyertaiku.’ [HR. Bukhari dan Muslim].

Yang membatalkan I’tikaf:
• Kehilangan salah satu syarat i’tikaf yang terkait dengan mu’takif.
• Berhubungan suami istri sebagaimana firman Allah swt:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Janganlah kamu campuri mereka (istri-istrimu) itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Al-Baqarah (2): 187)
• Keluar dengan seluruh badan dari tempat i’tikaf, kecuali untuk memenuhi hajat (makan, minum, dan buang air jika tidak dapat dilakukan di lingkungan masjid). Mengeluarkan sebagian anggota badan dari tempat i’tikaf tidak membatalkan i’tikaf sesuai dengan ungkapan ‘Aisyah ra:

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُخْرِجُ رَأْسَهُ مِنَ الْمَسْجِدِ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فَأَغْسِلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ

“Nabi Muhammad saw mengeluarkan kepalanya dari masjid (ke ruangan rumahnya) saat beliau i’tikaf lalu aku mencucinya sedang aku dalam keadaan haid.” (HR. Bukhari).

Adab/hal yang harus diperhatikan oleh Mu’takif:
• Selalu menghadirkan keagungan Allah di dalam hati sehingga niatnya terus terjaga.
• Menyibukkan diri dengan amal yang dapat mencapai tujuan i’tikaf.
• Bersahaja dan tidak berlebihan dalam melakukan perbuatan mubah seperti makan, minum, berbicara, tidur dan hal-hal lain yang biasa dilakukan di luar masjid.
• Menjauhi amal perbuatan yang dapat merusak tujuan i’tikaf seperti pembicaraan tentang materi (jual beli, kekayaan dan lain-lain).
• Memelihara kebersihan diri dan tempat i’tikaf serta menjaga ketertiban dan keteraturan dalam segala hal.
• Tidak melalaikan kewajiban yang tidak dapat ditunda pelaksanaannya, seperti nafkah untuk keluarga, menolong orang yang terancam keselamatannya, dan lain-lain.

E. I’tikaf bagi kaum wanita

Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat ulama.

Pendapat pertama adalah pendapat jumhur yang menyatakan itikaf dianjurkan juga bagi wanita sebagaimana dianjurkan bagi pria. Dalil bagi pendapat pertama ini diantaranya adalah:
• Keumuman berbagai dalil mengenai pensyari’atan i’tikaf yang turut mencakup pria dan wanita. Asalnya, segala peribadatan yang ditetapkan bagi pria, juga ditetapkan bagi wanita kecuali terdapat dalil yang mengecualikan.
• Firman Allah ta’ala, كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ
“Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab…” (Ali ‘Imran: 37).
• Dan firman-Nya, فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا
“Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka…” (Maryam: 17).

Ayat ini memberitakan bahwa Maryam telah membaktikan dirinya untuk beribadah dan berkhidmat kepada-Nya. Dia mengadakan tabir dan menempatkan dirinya di dalam mihrab untuk menjauhi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa beliau beri’tikaf. Meskipun perbuatan Maryam itu merupakan syari’at umat terdahulu, namun hal itu juga termasuk syari’at kita selama tidak terdapat dalil yang menyatakan syari’at tersebut telah dihapus.
• Hadits Ummul Mukminin, ‘Aisyah dan Hafshah radhiallahu ‘anhuma, yang keduanya memperoleh izin untuk beri’tikaf sedang mereka berdua masih dalam keadaan belia saat itu.

Pendapat kedua menyatakan bahwa i’tikaf dimakruhkan bagi wanita. Dalil yang menjadi patokan bagi pendapat ini diantaranya adalah sebagai berikut:
• Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu yang menerangkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melepas kemah-kemah istrinya ketika mereka hendak beri’tikaf bersama beliau
• Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, لَوْ أَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِى إِسْرَائِيلَ
“Seandainya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui apa kondisi wanita saat ini tentu beliau akan melarang mereka (untuk keluar menuju masjid) sebagaimana Allah telah melarang wanita Bani Israil.”

Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur yang menyatakan bahwa i’tikaf juga disunnahkan bagi wanita berdasarkan beberapa alasan berikut:
• Berbagai dalil menyatakan bahwasanya wanita juga turut beri’tikaf dan tidak terdapat dalil tegas yang menerangan bahwa wanita dimakruhkan untuk beri’tikaf.
• Hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melepas kemah para istri beliau ketika mereka beri’tikaf bukanlah menunjukkan ketidaksukaan beliau apabila para pemudi turut beri’tikaf. Namun, motif beliau memerintahkan hal tersebut adalah kekhawatiran jika para istri beliau saling cemburu dan berebut untuk melayani beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, dalam hadits tersebut beliau mengatakan, “Apakah kebaikan yang dikehendaki oleh mereka dengan melakukan tindakan ini?”. Akhirnya beliau pun baru beri’tikaf di bulan Syawwal.
• Hadits ‘Aisyah ini justru menerangkan bolehnya wanita untuk beri’tikaf, karena ‘Aisyah dan Hafshah di dalam hadits ini diizinkan nabi untuk beri’tikaf dan pada saat itu keduanya berusia belia.
• Adapun perkataan ‘Aisyah yang menyatakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarang wanita untuk keluar ke masjid apabila mengetahui kondisi wanita saat ini, secara substansial, bukanlah menunjukkan bahwa i’tikaf tidak disyari’atkan bagi wanita. Namun, perkataan beliau tersebut menunjukkan akan larangan bagi wanita untuk keluar ke masjid apabila dikhawatirkan terjadi fitnah.

Kesimpulannya, wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat:
(1) Meminta izin suami
(2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.

Sumber:
Ahmad Sahal Hasan, Lc (dakwatuna.com)
M. Nur Ichwan Muslim (Muslim.or.id)
Muhammad Abduh Tuasikal (rumaysho.com)
Abu Halbas Muhammad Ayyub (bejanasunnah.wordpress.com)
blog.al-habib.info

Leave a Reply

Your email address will not be published.