Ketika membaca judul di atas, setidaknya ada tiga kata kunci yang menjadi perhatian kita. Tiga kata tersebut adalah kemenangan, Ramadhan, dan berkah. Setelah tiga kata tersebut menjadi perhatian kita, beberapa pertanyaan akan memenuhi kepala kita.
Menang atas apa? Kemenangan yang seperti apa?
Berkah itu apa?
Seperti apa hubungan Ramadhan dengan berkah?
Apa hubungan Ramadhan yang penuh berkah dengan kemenangan?
Adakah kemenangan itu sifatnya terbatas pada kemenangan pribadi saja atau kemenangan yang sifatnya mencakup banyak orang?
Mungkinkah kemenangan itu kita capai?
Bagaimana cara menggapai kemenangan yang dimaksud di bulan Ramadhan?
Setidaknya pertanyaan-pertanyaan itulah yang muncul dari tiga kata kunci di atas. Dan insyaAllah pada artikel kali ini, saya akan coba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Pembahasan kita mulai dari arti kata berkah yang kemudian disandarkan pada kata Ramadhan. Selanjutnya, kita urai makna kemenangan dan cara-cara menggapainya.
Berkah
Apa itu berkah? Kalau kita telusuri, kata berkah dalam Bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari Bahasa Arab. Ia merupakan bentuk mashdar dari kata “بارَكَ” yang merupakan kata kerja yang memiliki makna جعل فيه الخيرَ “mendapatkan kebaikan di dalamnya”, atau ada juga yang mengartikan زيادة الخير “bertambahnya kebaikan”. Dari makna harfiahnya, kita dapati bahwa kata berkah sangat erat kaitannya dengan kebaikan.
Jika kita sandarkan kata berkah tadi dengan kata Ramadhan, maka artinya menjadi kurang lebih “Ramadhan bulan penuh kebaikan”. Apa benar di bulan Ramadhan penuh dengan kebaikan? Cara yang paling mudah untuk membuktikan kalimat itu adalah dengan melihat apa yang terjadi di tengah masyarakat saat Ramadhan tiba. Saat bulan Ramadhan tiba, di tengah masyarakat menjelang waktu maghrib, ada beberapa orang yang sedang membagikan makanan dan minuman untuk para pengendara yang sedang terjebak kemacetan. Ada pula sekelompok orang yang menjadi gemar mengeluarkan hartanya untuk dibagikan kepada kaum fakir dan miskin. Pada malam harinya, masjid dipenuhi oleh warga yang ingin beribadah sholat berjamaah, begitu pula pada subuh hari, masjid yang biasanya lengang dengan jumlah jamaah yang sedikit, ketika tiba bulan Ramadhan seketika menjadi penuh bahkan berdesakan. Kita akan dapati pula di siang hari saat sedang menahan lapar dan dahaga, mereka juga berusaha menahan hal-hal lain yang dapat membatalkan atau mengurangi nilai ibadah puasa mereka seperti marah dan sejenisnya. Beberapa contoh aktivitas warga di bulan Ramadhan tersebut di atas merupakan berbagai jenis kebaikan yang ditunjukkan dalam berbagai jenis. Ada yang mengeluarkan hartanya, kebutuhan pangannya, moralitasnya, dan juga religiusitasnya. Semuanya pemandangan tersebut tampak pada bulan Ramadhan. Oleh karenanya, secara sederhana, wajar jika Ramadhan mendapatkan predikat sebagai bulan yang penuh berkah, bulan yang penuh dengan amalan kebaikan, amalan kebajikan, baik itu bentuknya hubungan antar manusia maupun dengan Allah Sang Maha Pencipta.
Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah ﷺ mengenai bulan Ramadhan:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِى مُنَادٍ يَا بَاغِىَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ وَيَا بَاغِىَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ
“Pada malam pertama bulan Ramadhan syetan-syetan dan jin-jin yang jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, tidak ada satu pun pintu yang terbuka dan pintu-pintu surga dibuka, tidak ada satu pun pintu yang tertutup, ketika itu ada yang menyeru: “Wahai yang mengharapkan kebaikan bersegeralah (kepada ketaatan), wahai yang mengharapkan keburukan/maksiat berhentilah”. Allah memiliki hamba-hamba yang selamat dari api neraka pada setiap malam di bulan Ramadhan” (HR. Tirmidzi no. 682 dan Ibnu Majah no. 1642)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan dalam kitab Fathul Bari mengenai makna ucapan Rasulullah ini: beliau mengutip sebuah keterangan dari Imam al-Qurtubi, di mana beliau berkata, “Maksudnya adalah perbuatan maksiat akan sedikit terjadi pada orang yang menjaga syarat-syarat dan adab dalam berpuasa. Atau makna lain bisa juga yang dibelenggu adalah sebagian syetan yang membangkang bukan semuanya.” Kemudian beliau melanjutkan, “Atau maksudnya adalah berkurangnya keburukan, dan hal ini sangat tampak sekali. Atau yang terjerumus dalam kemaksiatan pada bulan tersebut lebih sedikit dibandingkan pada bulan-bulan lainnya, karena dibelenggunya semua setan tidak berarti menghilangkan seluruh keburukan dan kemaksiatan. Sebab, selain setan ada faktor-faktor lain yang menyebabkan hal tersebut terjadi, seperti nafsu buruk, kebiasaan jelek atau gangguan setan dari jenis manusia.” (Lihat: Fathul Bari, jilid 4 hal. 145)
Menang
Ada beberapa cara bagaimana kita dapat mendefinisikan sebuah kata. Cara yang pertama adalah dengan merujuk kepada kamus untuk melihat makna harfiahnya seperti yang telah saya uraikan saat menjelaskan makna kata berkah. Cara yang lainnya adalah dengan membandingkan dengan lawan katanya. Untuk kata yang satu ini, kita akan mudah memahaminya dengan menggunakan lawan katanya, yaitu kalah. Dari dua kata ini, menang dan kalah, maka terbesitlah dalam benak kita sebuah pertandingan atau kompetisi atau peperangan atau perlombaan atau yang sejenisnya. Karena output dari sebuah pertadingan / kompetisi / peperangan / perlombaan, sejatinya hanya ada dua, yaitu menang dan kalah. Dari analogi sederhana di atas, setidaknya kita dapatkan makna dari menang yaitu sebuah kondisi hasil atau output dari sebuah pertandingan. Kalau kita ibaratkan sebuah mesin yang memiliki tiga lapisan berupa input, proses, dan hasil (output), maka menang sejatinya adalah kondisi hasil keluaran (output) dari sebuah proses yang melibatkan beberapa variable dari input.
Lalu, apa hubungan Ramadhan bulan berkah tadi dengan menang? Menang dalam hal apa? Emang ada pertandingan apa di bulan Ramadhan sehingga harus kita menangkan atau membuat kita termotivasi untuk menang?
Kalau kita kembalikan kepada contoh aktivitas masyarakat selama bulan Ramadhan yang telah disebutkan sebelumnya, maka sejatinya di bulan Ramadhan ini kita sedang bertempur melawan hawa nafsu yang ada pada diri kita, melatih diri untuk dapat mengendalikannya. Hawa nafsu itu bentuknya bermacam-macam. Ada yang berbentuk kikir akan harta, kikir akan makanan, hawa nafsu emosional, hawa nafsu seksual, hawa nafsu malas beribadah, dan lain-lain. Semua ini adalah jenis hawa nafsu, yang merupakan bentuk turunan dari apa yang disebut dengan Syubhat dan Syahwat. Syubhat menyerang bagian atas organ manusia (kepala), sedangkan syahwat menyerang perut dan terus ke bawahnya.
Lho, kan memang kita ini diciptakan oleh Allah dilengkapi dengan hawa nafsu, kenapa sekarang harus diperangi?
Sebenarnya bukan diperangi, melainkan dikendalikan. Dan proses mengendalikannya itu ibarat tenjun ke medan peperangan, berdarah-darah. Dan betul sekali bahwa Allah ﷻ menciptakan kita, manusia, dilengkapi dengan hawa nafsu. Sebab kalau tidak dengan hawa nafsu, mungkin kita tidak memiliki semangat untuk makan dan melakukan aktivitas lainnya. Tetapi dibekalinya kita dengan hawa nafsu tersebut oleh Allah, tidak serta merta menjadikan kita harus mengeksploitasi semaksimal mungkin potensi hawa nafsu yang kita miliki. Di sinilah letak ujian yang Allah berikan kepada kita sebagai manusia. Sebab, jika kita eksploitasi hawa nafsu tersebut secara maksimal, yang dampak yang terjadi bukanlah kebaikan, justru sebaliknya yaitu kehancuran. Mari kita ambil contoh hawa nafsu seksual. Bayangkan seandainya kita eksploitasi hawa nafsu itu semaksimal mungkin, justru itu akan menjadikan derajat kita sebagai seorang manusia menjadi lebih buruk dari binatang, padahal manusia jauh lebih baik dari binatang karena manusia diberikan akal pikiran agar dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Contoh lainnya adalah hawa nafsu makan. Silahkan anda coba bayangkan jika anda eksploitasi maksimal hawa nafsu itu, apa kiranya yang akan terjadi. Obesitas, mungkin salah satu akibat yang ditimbulkannya dan itu sama sekali tidak menyehatkan tubuh kita. Dampak lainnya, boleh jadi menghalalkan segala cara dalam meraihnya, seperti mencuri, merampas, merampok, dan sejenisnya. Dan tentunya itu semua tidaklah menambah kemuliaan kita sebagai seorang manusia. Begitu pula dengan jenis hawa nafsu lainnya, harta, emosi, bahkan tahta. Semuanya justru menjerumuskan manusia pada kehinaan dan kehancuran. Tidak terkecuali mereka yang terkenal di kalangan masyarakat dengan kepandaiannya, kejeniusannya, dan berbagai julukan atau reputasi lainnya. Manakala hawa nafsu sudah menjangkiti dan menggerogoti hati dan pikiran mereka, justru tanpa mereka sadari, itu mejadi senjata yang menghinakan dan menghancurkan diri mereka sendiri. Tidak sedikit contoh untuk ini. Ada banyak kisah dalam Al-Quran yang menggambarkan itu semua. Ada Fir’aun dengan tahtanya, ada Qarun dengan hartanya yang berlipah, dan lain sebagainya.
Itulah sebabnya mengapa Allah ﷻ memfasilitasi kita dengan bulan Ramadhan. Allah fasilitasi kita selama kurang lebih 30 hari setiap tahunnya untuk melatih ulang kemampuan kita mengendalikan itu semua dengan dijanjikan balasan yang besar, tentunya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Karena sejatinya Allah tidaklah menginginkan apapun kecuali kebaikan untuk diri kita sebagai hamba-Nya. Allah berikan petunjuk dan tata caranya melalui lisan dan perbuatan utusan-Nya yang mulia. Maka tidaklah heran, jika Rasulullah dan para sahabatnya dahulu berhasil mempertontonkan keluhuran akhlaq yang Allah perintahkan kepada masyarakat dunia kala itu, sehingga mereka berbondong-bondong ingin mencontohnya dengan masuk ke dalam agamanya, sehingga sepertiga dunia ini pernah berada di bawah naungan islam. Itulah mengapa kita harus mampu mengendalikan hawa nafsu kita agar kita menjadi makhluk yang mulia, lebih mulia daripada hewan atau bahkan lebih daripada malaikat yang tidak diberikan hawa nafsu sedikitpun. Dan mengendalikan hawa nafsu itu, salah satunya dengan berpuasa.
Meraih kemenangan di bulan Ramadhan penuh berkah
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa hakikat berpuasa di bulan Ramadhan adalah mampu mengendalikan hawa nafsu sehingga menjadikan kita manusia-manusia yang bertaqwa, yang dekat, tunduk, patuh dan taat dengan semua perintah-Nya dan menjauhi segala laranganNya. Dan modal utama untuk mencapai itu semua adalah iman, keyakinan penuh kepada Allah, sebagaimana seruan atau perintah berpuasa itu hanyalah untuk orang-orang yang beriman saja.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Al-Baqarah: 183)
Dan ucapan Rasulullah ﷺ
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengaharap pahala dari Allah maka dosanya yang telah lalu akan diampuni”. (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760)
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759)
Tentunya perbuatan dosa yang telah lalu sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, adalah karena faktor mempertuntutkan hawa nafsu. Oleh karena itu, syarat atau modal untuk meraih kemenangan di bulan Ramadhan adalah keimanan. Dan keimanan dimensi utamanya adalah hati, bukan akal rasional manusia. Jadi, tidak perlu kita berpuasa karena alasan lainnya, seperti alasan ilmiah, bahwa puasa menyehatkan dan sejenisnya. Cukup jalankan dengan penuh keyakinan bahwa ini perintah Allah dan mengharap pahala dari-Nya, insyaAllah pahala didapat, dosa diampuni, dan sehat juga didapat sebagai bonus. Tetapi manakala kita niatkan karena sehat saja, maka belum tentu pahala didapat atau dosa diampuni. Faktor ini akan berimbas pada pembenahan mindset atau pola pikir kita dalam beribadah.
Setelah bermodalkan keimanan, keyakian penuh bahwa kita berpuasa dalam rangka menjalankan perintah-Nya, maka selanjutnya kita mengikuti aturan main dalam berpuasa. Hindari hal-hal yang dapat mengurangi nilai bahkan membatalkan puasa itu sendiri. Seperti mengendalikan emosi, kurangi hal-hal yang hukumnya mubah seperti menonto televise dan lain-lain. Jalankan semampu kita semua Sunnah Rasulullah dan amalan-amalan berfaedah lainnya yang dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah. Seperti memberikan hidangan berbuka, hidupkan malam Ramadhan dengan qiyam, tilawah dan tadarus quran, berinfaq, dan lain-lain. Kejar, optimalkan dan maksimalkan ibadah di waktu-waktu utama seperti malam lailatul qadar. Tutup Ramadhan dengan membersihkan harta, membayar zakat. Faktor inilah yang nantinya akan berimbas pada terkendalinya hawa nafsu yang ada pada diri kita, baik itu hawa nafsu seksual, hawa nafsu malas, hawa nafsu emosi, hawa nafsu kikir, dan lain-lain.
Dengan dua hal di atas, menjalankan puasa dengan niat keimanan dan mematuhi semua aturan main berpuasa Ramadhan, maka sejatinya kita sedang berperang / berproses mengendalikan hawa nafsu kita, baik itu yang menjangkiti mindset kita (syubhat), maupun menjangkiti hati kita (syahwat). Dan dampak dari itu semua dapat kita lihat nanti setelah Ramadhan usai, pada 11 bulan selanjutnya. Apakah selama 30 hari di bulan Ramadhan berdampak pada kebiasaan kita atau tidak (semakin banyak kebaikan yang kita lakukan)? Jika iya, maka kemenangan itu insyaAllah telah kita raih dan seperti layaknya kemenangan pada umumnya, harus dipertahankan. Jika tidak, maka berhati-hatilah, karena Rasulullah ﷺ pernah berpesan
رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ – أَوْ بَعُدَ – دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ
“Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni” [HR. Ahmad, dishahihkan Al-Hakim, Adz-Dzahabi dan Albani]
Mari kita perbaiki kembali keimanan kita, kita perbaiki kembali ibadah-ibadah kita di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Optimalkan dan maksimalkan seluruh waktu, tenaga, dan dana yang kita miliki untuk meraih pahala dan ampunan dari-Nya. Tidak ada jaminan bahwa kita dapat menyelesaikan Ramadhan tahun ini apatah lagi dapat berjumpa dengan Ramadhan di tahun depan. Semoga Allah menerima segala amal ibadah kita, puasa kita, shalat kita, doa kita, dan lain-lainnya sehingga kita menjadi insan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Wallahu a’lam bishshawab
Penulis : Hadiyawarman