Menikmati Ramadhan di Negeri Sakura

Islam di Jepang Ramadhan Seri Kehidupan di Jepang Tausyiah

Bisa menjalankan ibadah ramadhan di negara lain merupakan kesempatan istimewa yang sangat berharga karena banyak pengalaman berbeda yang bisa kita rasakan dan sekaligus juga bisa menjadi proses pembelajaran untuk lebih meningkatkan rasa syukur kita atas apa yang sudah Allah anugerahkan, paling tidak itu yang saya rasakan saat menjalani puasa di negeri sakura tahun ini.

Suasana ramai di pasar-pasar jelang memasuki awal ramadhan, tabuhan beduk atau nyaringnya sirine serta kumandang azan yang menandai waktu berbuka puasa, semarak masjid yang nyaris setiap malam dipenuhi para jamaah shalat tarawih termasuk kehadiran anak-anak dan keriuhan mereka disela-sela shalat berjamaah yang menambah semaraknya suasana ramadhan, lantunan merdu tilawah qur’an dan panggilan yang terdengar dari masjid-masjid untuk membangunkan sahur bagi mereka yang masih terlelap, tentu tidak bisa diharapkan dapat kita temui di sini. Sebaliknya, kondisi yang ada di Jepang, termasuk di wilayah Shiga, kota dimana saya tinggal saat ini, menjadi tantangan tersendiri bagi umat muslim yang sedang menjalankan ibadah shaum ramadhan.

Tahun ini ramadhan bertepatan dengan awal musim panas dan tentu saja udara dengan temperatur yang cukup tinggi merupakan salah satu tantangan bagi umat muslim di Jepang terutama bagi yang baru pertama kali merasakannya. Suasana musim panas di Jepang yang sering digambarkan dengan istilah mushi atsui (mushi : steam/kukusan dan atsui : panas)** terasa berbeda dengan panas yang dirasakan di Indonesia. Tingkat kelembaban yang tinggi dengan temperatur rata-rata 30-35’C membuat kita seperti berada dalam steamer/kukusan. Suasana gerah dan lengket sangat terasa dominan, bahkan panasnya membuat anginpun terasa hangat. Kondisi seperti ini memicu rasa mudah lemas/lelah yang jika tidak diantisipasi bisa jadi akan mengganggu kelancaran ibadah ramadhan kita.

Salah satu hal yang identik dengan musim panas ini adalah durasi siang yang lebih panjang. Waktu subuh menjadi lebih awal (saat ini waktu subuh kira-kira pukul 02.30-03.00) dengan waktu magrib saat ini sekitar pukul 19.00-19.30, ‘menantang’ daya tahan dan kesabaran kita untuk bisa menjalani puasa dengan waktu yang lebih lama dibandingkan saudara-saudara kita yang saat ini berada di tanah air. Ya, 16-17 jam berpuasa mungkin bukan hal yang mudah diadaptasi bagi yang bertahun-tahun terbiasa dengan pola puasa dengan durasi waktu yang lebih pendek.

Tantangan lainnya adalah menahan godaan dari masyarakat sekeliling yang mayoritas adalah non muslim, sehingga suasana di bulan puasa memang nyaris tidak ada bedanya dengan hari-hari biasa. Menyaksikan lalu lalang orang di sekeliling yang dengan bebas makan dan minum, tidak sengaja menghirup aroma sedap masakan dari kedai makanan yang tetap buka di siang hari ataupun menyaksikan seliweran orang dengan kostum minimalis khas musim panas, menjadi hal yang sangat umum. Dengan kondisi yang seperti ini, tuntutan untuk bisa mengendalikan syahwat mata dan perut tentu lebih besar.

Selain itu, sulitnya menemukan bahan makanan halal apalagi makanan siap saji yang saat di Indonesia bisa dengan mudah kita beli di banyak tempat, menjadi ujian kesabaran bagi yang menjalankan ibadah puasa, terutama para ibu rumah tangga. Kenapa ujian kesabaran? Karena dengan banyaknya variasi makanan yang menggugah selera dan sangat mudah ditemui di berbagai swalayan/supermarket, dibarengi dengan rasa bosan dengan menu yang itu-itu saja (mengingat jenis makanan halal yang tersedia di sini memang sangat terbatas) ditambah pula dengan waktu yang terbatas untuk memasak sendiri, godaan untuk, akhirnya, mengabaikan syarat kehalalan makanan akan sangat mungkin terjadi.

Tapi, tantangan yang banyak dijumpai tentu bukan menjadi alasan untuk setengah hati menjalankan ibadah ramadan di sini apalagi sampai samasekali meninggalkannya. Tekad yang diwujudkan dalam niat yang kuat dan jiddiyah (kesungguhan) dalam melaksanakan ibadah shaum ramadhan menjadi modal dasar untuk bisa ‘menikmati’ tantangan yang ada. Sudah menjadi sunnatullah, bahwa dibalik tantangan dan kesulitan, Allah pasti menyediakan pula kemudahan bagi hambaNya. Begitu pula dalam ibadah ramadhan ini. Banyak kemudahan-kemudahan yang, Alhamdulilah, tetap bisa dirasakan : toleransi yang ditunjukkan oleh masyarakat lokal saat mereka mengetahui kita sedang menjalankan ramadhan (ini yang sangat saya rasakan, diantaranya disediakannya fasilitas ruang dan guru yang khusus menemani anak sulung saya di sekolah saat jam makan siang dan diizinkannya penggunaan fasilitas berupa ruangan di kampus saya untuk menjalankan tarawih berjamaah) serta kehadiran saudara-saudara muslim setanah air dalam agenda-agenda ramadhan seperti ifthor dan tarawih jama’i, cukup bisa mengobati kerinduan akan suasana ramadhan di kampung halama.

Photo by hkase

Leave a Reply

Your email address will not be published.