Penulis: Hamdan Syifa
Ada cerita tentang keluarga suami-istri dokter muda yang bertugas di sebuah puskesmas di Yogya. Setiap hari mereka bergelut dengan pasien terkena Covid-19 yang jumlahnya meningkat baru-baru ini, sampai pernah suatu saat ada sampai delapan orang nakes di pukesmas itu tertular virus Covid-19 sehingga puskemasnya di-lockdown.
Keluarga nakes muda ini mempunyai bayi pertama yang baru berusia lima bulan dan masih menyusui. Setiap pulang dari puskemas, mereka selalu dihantui kekhawatiran kalau-kalau membawa virus ke rumah dan menulari bayinya. Tidak jarang bayinya menangis keras sekali, saat melihat ibunya tidak langsung mendekatinya ketika bertemu, karena harus membersihkan dirinya dulu sebelum memberikan ASI.
Meninggalkan bayi yang masih menyusui di rumah, bagi seorang ibu memang diperlukan ketabahan tersendiri. Selepas tugas, biasanya buru-buru ingin cepat sampai rumah. Gara-gara terburu-buru ini dan lelah setelah memberikan vaksin ratusan orang, saat perjalanan ke rumah sampai pernah harus berurusan dengan polisi karena sepeda motornya menerobos lampu kuning.
Kalau di Jepang, pemerintah memberikan pelayanan khusus misalkan dengan memberikan tunjangan baby-sitter untuk nakes yang harus berjuang di garda terdepan menghadapi wabah Corona ini. Tidak hanya pemerintah, tapi juga NPO seperti Florence di Tokyo yang siap memberikan bantuan menyediakan para pengasuh anak bagi para nakes secara cuma-cuma selama pandemi ini.
Namun permasalahan belum selesai di sini. Jangankan di negara-negara berkembang, di negara maju seperti Jepang pun, yang notabene fasilitas dan tunjangannya cukup memadai, kelelahan dan jam kerja yang overload pada masa pandemi sekarang tetap bisa membuat frustasi para nakes. Survei yang diadakan bulan Januari dan Februari lalu oleh Serikat Pekerja Rumah Sakit Jepang, menyebutkan sekitar 51.3% nakes yang bekerja menangani virus di rumah sakit berpikir untuk berhenti bekerja. Survei ini juga menyebutkan 55.7% nakes mengalami gangguan fisik dan mental karena stres dan kelelahan berkepanjangan, serta dehidrasi karena harus mengenakan baju APD.
Makanya, permintaan akan 500 orang tenaga kesehatan kepada Asosiasi Perawat Jepang dari penyelenggara Olimpiade Tokyo di bulan Agustus nanti, ditanggapi dengan nada geram oleh Federasi Serikat Pekerja Kesehatan Jepang. Morita, Sekjen Federasi ini mengatakan, ”Kita mesti menghentikan proposal pengiriman para perawat yang tengah berjuang serius melawan virus Corona sekarang ini menjadi relawan Olimpiade. Saya sangat marah karena hal ini dipaksakan untuk penyelenggaraan Olimpiade tanpa melihat resiko kesehatan para pasien dan perawat.” Seorang perawat Mikito Ikeda mengomentari, “Selain marah, saya kaget karena penyelenggara kurang sensitif, dan menunjukan bagaimana jiwa seseorang disepelekan” (Kyodo News, 23/5/2021).
Di Indonesia tidak ada event besar yang membutuhkan banyak tenaga kesehatan seperti Olimpiode, tapi beratnya beban kerja dan resiko yang ditanggung para nakes di masa pandemi ini patut dimaklumi. Lebih-lebih jumlah pasien terpapar Covid-19 di Indonesia yang sebanyak 38 ribu orang per hari, 16 kali lebih banyak dari Jepang. Perhatian pemerintah dan pengertian dari masyarakat akan sangat berpengaruh bagi ketenangan jiwa mereka dalam bekerja. Secara tidak langsung, berpengaruh pula pada kesembuhan pasien yang dirawatnya. Selamat berjuang para nakes!