Membayar Zakat, Mengokohkan Iman, Merekatkan Persaudaraan

Artikel Ramadhan

Mesjid Kobe
Mesjid Kobe
Jika kita mengamati sekilas kondisi masyarakat, masyarakat pada peradaban masa lalu maupun masa modern saat ini, kita bisa membagi masyarakat itu pada dua golongan, golongan kaya dan golongan miskin. Biasanya golongan masyarakat kaya memiliki sumber-sumber penghidupan yang melimpah, status sosial yang tinggi, dan seringkali punya kuasa untuk menentukan urusan orang banyak. Sebaliknya golongan yang miskin, terbatas sumber penghidupannya, terpinggirkan, dan lemah tak berdaya menghadapi konflik kehidupan. Urusan kaya dan miskin ini adalah urusan yang seumur dengan sejarah manusia, selalu ada, dengan segala lika-likunya. Oleh karena itu akan kita dapati pada setiap peradaban manusia itu, selalu ada panggilan kebaikan untuk membantu yang miskin, memberi makan yang kelaparan, menolong yang kesulitan. Dalam Islam, panggilan ini begitu kuat hingga menjadi ibadah wajib bagi yang mampu, yang kita kenal dengan zakat.

Zakat adalah ibadah wajib bagi setiap muslim yang mempunyai kelebihan harta untuk mengeluarkan sebagian hartanya dan diberikan kepada yang berhak dibantu, sebagaimana seruan dan anjuran untuk mengulurkan tangan bagi yang kekurangan pada masyarakat lainnya. Namun ada beberapa karakteristik yang membedakan zakat ini, beberapa diantaranya:
1. Zakat bukan sekedar anjuran untuk berbagi, dan menyerahkan urusan ini pada kebaikan hati masing-masing, tapi lebih dari itu. Zakat adalah kewajiban, rukun Islam setelah Solat, bagi yang menyangkal kewajiban ini bisa dianggap telah meninggalkan Islam.
2. Zakat dipandang dalam Islam sebagai hak bagi yang miskin dalam harta orang kaya, bukan pemberian dari yang kaya kepada yang miskin. Hak ini diputuskan langsung oleh Pemilik Kekayaan yang sebenarnya, Allah SWT. Sehingga secara sosial dan etika, Zakat tidak merendahkan yang menerima dan tidak meninggikan yang kaya.
3. Tata cara, perhitungan, yang wajib membayar, yang berhak menerima zakat ditentukan dengan jelas dalam syariat/hukum Islam, bukan pemerintah, pemuka agama atau badan pengelola.
4. Sebagaimana pajak atau social security, pemerintah dalam negeri Islam punya wewenang untuk mewajibkan, mengumpulkan dan menyalurkan zakat, yang dengan ini manfaat zakat bisa tersebar luas dan merata. Namun jika wewenang ini tidak berjalan, kewajiban zakat tetap ada, pribadi atau masyarakat bisa mengelolanya secara mandiri.
5. Zakat bukan sekedar bantuan sementara untuk mengatasi suatu bencana atau keadaan darurat, tapi kewajiban yang senantiasa berjalan, untuk mengentaskan kemiskinan, meminimalisir ketimpangan sosial, memperkuat persaudaraan dan bangunan sosial, dan memutar roda perekonomian. Hal itu dimungkinkan karena zakat, selain untuk yang fakir dan miskin, juga untuk yang terlilit hutang, yang dalam perjalanan, untuk mualaf, untuk kebaikan secara umum (fii sabilillah), dan untuk yang muslim maupun non-muslim *
6. Zakat dalam kehidupan pribadi seorang muslim berguna untuk mensucikan hartanya dari hak orang lain, melatih kepekaan diri, dan menghindari sifat tamak dan rakus pada harta benda dunia. Di sisi lain, wajibnya zakat dalam Islam berarti juga menganjurkan muslim untuk hidup mandiri dan kokoh secara ekonomi, sehingga bisa menunaikan kewajiban zakat.

Fokus pada karakteristik zakat poin ke 5 diatas, ada pengalaman berharga dari komunitas muslim di Jepang. Jepang adalah negara maju dengan jumlah penduduk Muslim masih terbilang sedikit, sekitar 120,000 orang (0.09% populasi total), dimana hanya 10,000 orang yang merupakan penduduk asli Jepang. Setiap bulan Ramadhan komunitas muslim itu mengumpulkan zakat dan sedekah dari anggota komunitasnya, dan sering kali menyalurkan zakat tersebut ke luar Jepang, karena dianggap lebih membutuhkan.

Dari pengamatan pribadi, jarang ditemui komunitas muslim ini memiliki data mustahiq (yang membutuhkan/berhak menerima zakat) dari orang-orang diwilayahnya. Padahal kemungkinan besar ada mualaf, ada yang berhutang, ada yang sedang kesulitan keuangan, ada yang butuh bantuan, semua kondisi itu sangat mungkin ada, walau tinggal di negara maju sekalipun. Lebih dari itu, zakat lebih utama disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan di wilayah di mana zakat itu dikumpulkan. Oleh karena itu, pada Ramadhan ini, beberapa teman mencoba untuk menghimpun informasi orang-orang yang membutuhkan bantuan di sekitar komunitasnya, dan bagi saya ini menjadi pengalaman yang unik dan berharga.

Menjadi muslim di negara Jepang, ada tantangan dan konsekuensinya sendiri. Misalnya seorang perempuan yang memeluk Islam lalu mengenakan jilbab, akan sangat mungkin ia mengalami kendala saat mencari kerja formal, karena tuntutan dan budaya kerja di sini. Jika ia tidak bisa mencari sumber pemasukan dari sektor informal, kemungkinan besar ia akan mengalami kendala ekonomi.

Contoh yang lain adalah seseorang yang masuk Islam karena pernikahan. Pernikahan dengan latar sosial budaya yang berbeda ini, jika tidak dipersiapkan dengan baik, rentan timbul konflik rumah tangga, yang pada beberapa kasus berujung perceraian. Dampak perceraian ini tidaklah sederhana, dan seringkali pihak yang paling dirugikan adalah perempuan/muslimah. Bisa dibayangkan beratnya hidup seorang muslimah, berjuang melanjutkan kehidupan setelah perceraian, membesarkan anak-anaknya tanpa suami, menanggung beban ekonomi, sementara ia juga harus mempertahankan keislamannya di tengah masyarakat minoritas muslim. Terlebih lagi bila muslimah tersebut adalah mualaf, tentu perjuangan mempertahankan iman dan Islamnya lebih berat lagi.

Sudah seharusnya komunitas muslim yang ada, berempati dan meringankan beban mereka yang kesulitan, membantu mereka lebih tegar dalam hidup, mengokohkan iman dan Islam mereka, dan menjalin persaudaraan yang hangat dengan mereka. Tentu kasus seperti ini tidak bisa digeneralisir, ada banyak pernikahan dua budaya, yang membawa pasangannya ke dalam Islam, dan tetap bertahan harmonis dalam keislaman yang baik hingga usia tua. Ada banyak pula muslimah yang tetap berjilbab dan bekerja secara formal. Tetapi realitas hidup ini memang mengajarkan kita bahwa yang berkecukupan harus menggenapkan yang kekurangan, dan dalam Islam hal itu merupakan kewajiban yang harus ditunaikan.

Tinggal di negara maju, memang memberi peluang untuk mendapatkan kecukupan ekonomi. Hampir semua terlihat baik-baik saja dan berkecukupan. Tetapi seringkali kita tidak tahu apa yang ada di balik kehidupan mereka. Umumnya mereka enggan atau malu mengungkapkan urusan hidup mereka. Di sini diuji sensitivitas kita dan rasa persaudaraan kita sebagai muslim. Berkenalan dengan mereka, menyapa mereka, memahami mereka sehingga kita bisa mengetahui siapa diantara kita yang sedang membutuhkan bantuan.

Di bulan Ramadhan ini, semoga Allah SWT merahmati orang-orang yang penuh semangat untuk mengumpulkan zakat dan menyalurkannya kepada yang membutuhkan dari orang-orang terdekat.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS At Taubah: 103)
———–

Catatan Kaki
(*) Referensi: Fiqh Zakat, Ust Yusuf Al Qardhawi. Khalifah Umar bin Abdul Azis memasukkan non-muslim sebagai penerima zakat pada masa pemerintahannya. Hal ini dilakukan kemungkinan karena kemakmuran yang merata sehingga sulit ditemukan orang-orang yang berhak menerima zakat, sehingga non-muslim pun dimasukkan dalam daftar penerima zakat. Pendapat ini juga sejalan dengan beberapa fuqoha seperti Abu Hanifah dan Az-Zuhri, yang membolehkan zakat diberikan pada orang-orang yang tidak mampu dari kalangan non-muslim karena sejalan dengan ayat dalam QS Al Mumtahanah 8: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”

Leave a Reply

Your email address will not be published.